Oleh : Muhammad Arsyad
Kebudayaan menurut
koentjaraningrat dimaknai sebagai ide, tindakan, dan karya.1) Ide
yang dimanifestasikan dalam wujud tindakan yang menghasilkan output berupa
karya. Namun, pendasaran makna kebudayaan secara teoritis membuat kesan budaya
menjadi kaku. Padahal, budaya sifatnya fleksibel berdasarkan pada dimensi ruang
dan waktu.
Suatu budaya akan mengalami
pemaknaan yang berbeda oleh setiap zaman karena masyarakat sebagai pelaku
kebudayaan adalah suatu ranah yang tidak stabil.2) Proses
penyesuaian budaya dengan perubahan masyarakat itu akan menghasilkan suatu
harmonisasi. Budaya selalu mencari makna dibalik kondisi sosial dan lingkungan
tersebut. Misal, budaya orang banjar hilir berbeda dengan budaya orang banjar
pahuluan karena aspek nilai yang diserap oleh budaya tersebut berdasarkan
kondisi ruang yang memengaruhinya serta masyarakat sebagai pelaku kebudayaan
terus menyesuaikannya. Disinilah suatu
produk kebudayaan akan mengalami dinamikanya. Jadi, suatu produk kebudayaan
akan bertahan ketika ia tercipta dari masyarakat serta memiliki makna yang
dalam di setiap relung jiwa dan pikiran masyarakat tersebut.
Masyarakat bukanlah satu
kesatuan. Ia merupakan himpunan dari beragam identitas dan latar belakang
sosial masing-masing pelaku. Dalam masyarakat, ada masyarakat akar rumput, ada
pemangku kebijakan, misal pemerintah, ada pemerhati kebijakan, misal akademisi,
serta ada gerakan emansipasi seperti banyak diperankan oleh pegiat sosial.
Kebudayaan berakar dari masyarakat akar rumput, yang didasari atas kesadaran
komunal dalam memaknai dan bertindak terhadap realitas.
***
Seorang mahasiswa datang ke
kampus, mengendarai mobil, menenteng gadget kemana-mana yang semuanya notabene
mahal. Mereka nongkrong di kantin kampus, membicarakan tentang banyak hal. Dari
pakaian mereka, dari merk-merk yang mereka kenakan, mereka mencoba menampilkan
dari ranah sosial mana ia berasal.
Inilah zaman dimana kesadaran
merk berlangsung sangat pesat. Berbagai macam merk secara blak-blakan berdenyut
diantara kehidupan kampus yang kental dengan nuansa akademis. Namun, ia tak
sekadar berbicara tentang merk dan konsumerisme. Suatu korporasi besar tak
hanya menyuguhkan sebuah produk, tetapi juga menawarkan kepada kita sebuah gaya
hidup. gaya hidup yang memberikan kepada kita sebuah citra. Citra disini saya
artikan sebagai cara pandang orang lain terhadap entitas. Citra adalah suatu
yang melekat kepada kita sebagai bagian dari identitas kita dari sudut pandang
orang lain. Ia menciptakan realitas yang tidak terkontrol oleh kita. ini yang
dikatakan oleh Bre Redana sebagai realitas semu (virtual reality). Sangat bias membedakan antara yang mana virtual reality dan yang mana realitas
yang sebenar-benarnya.3)
Dalam masyarakat kapitalisme kontemporer,
apa yang dinamakan gaya hidup kaum urban adalah wujud dari realitas semu.
Disini kebudayaan mendapat tantangan baru, yaitu bahwa kebudayaan masyarakat
akan dipengaruhi oleh realitas semu. Realitas semu yang selalu mementingkan
aspek pencitraan padahal kering makna. Bahkan kebudayaan dipoles sedemikian
rupa demi kepentingan pariwisata global oleh investor dan pemerintah.
Kapitalisme tidak hanya menawarkan suatu gaya hidup yang baru, akan tetapi juga
memoles kebudayaan lama demi kepentingan pasar.
***
Pengamat gerakan mahasiswa dari
luar ataupun barangkali ada mahasiswa yang masih berpikiran idealistis banyak
gundah dan berkesimpulan bahwa apa yang menjadi faktor kemunduran gerakan
mahasiswa adalah gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Benarkah demikian?
Dalam menilai suatu produk
budaya, salah satu caranya adalah mengidentifikasi citra dan darimana budaya
tersebut terbentuk.
Pertama, budaya mahasiswa yang
berasal dari kebijakan kampus. Pada banyak institusi pendidikan tinggi terdapat
paradigma “Menjadi mahasiswa adalah untuk mendapatkan gelar untuk kemudian
bekerja.” Orientasi institusi pendidikan seperti ini adalah guna memenuhi
kebutuhan pencari kerja. Ketika semakin sempitnya lapangan kerja, hingga
ketidakmampuan peserta didik dalam menjawab tuntutan zaman adalah wujud dari kegagalan
pendidikan dalam sistem yang seperti ini. Citra budaya mahasiwa seperti ini
menggambarkan watak individualistis dari seorang manusia tanpa membangun sebuah
kesadaran komunal akan hidup. Pejabat kampus sebagai pemilik otoritas mesti
memberi ruang agar kesadaran komunal ini terbentuk. Bukan dalam artian membuat
kebijakan yang membatasi potensi sosial itu. Ditingkatan ini, budaya justru
dibentuk oleh kebijakan kampus, bukan mahasiswa. Mahasiswa justru berperan
sebagai objek yang mesti menjalankan sebuah sistem besar ini.
Keadaan demikian berimplikasi
kepada mahasiswa secara personal maupun kepada organisasi kemahasiswaan. Secara
personal, mahasiswa menjadi tunduk dan patuh terhadap sistem yang mengharuskan
ia berstudi cepat dan memenuhi kriteria kampus. Analisa terhadap problema
sosial pun menjadi dangkal karena ia dituntut cepat dalam menyelesaikan studi.
Dampak sosialnya ditanggung oleh
organisasi kemahasiswaan. Regenerasi kepemimpinan serta pegiat organisasi
kemahasiswaan sangat cepat berulang hingga banyak organisasi kemahasiswaan
mengalami disorientasi gerakan. Antara jenis organisasi kemahasiswaan yang satu
terkadang saling ambil jatah program. Atau barangkali, organisasi kemahasiswaan
dikelola tidak sesuai dengan visi keorganisasian tersebut. Organisasi mahasiswa
hanya dipakai sebagai batu loncatan tanpa memaknai nilai perjuangan dari
organsasi itu. Organisasi kemahasiswaan juga selalu mencari citra di mata
organisasi yang lain.
Kedua, budaya mahasiswa yang
dipengaruhi oleh kapitalisme kontemporer. Dari awal, tadi sudah disebut bahwa
antara realitas sebenarnya dengan realitas semu menjadi samar. Apa itu
kapitalisme kontemporer? Ia adalah sebuah sistem dimana manusia menjadi data
statistik, kebutuhan menjadi komoditas, dan uang jadi tuhan. Ia menyebar
melalui teknologi informasi, hiperrealitas, dan hiburan. Disana, terselip
sebuah kesenangan semu.4)
Mahasiswa sebagai juga ia anak
muda terbuai oleh kesenangan-kesenangan semu. Kita pasti pernah merasa menemui
sebuah keadaan dimana kita dengan bisanya menganggap bahwa jakarta itu menarik
dan mesti disinggahi, singapura itu kota tak pernah mati dan aku mesti kesana,
sebuah bioskop di mall di Banjarmasin mesti disinggahi karena tempat
tongkrongan anak muda, atau aku mesti memiliki perangkat elektronik canggih
yang mahal itu agar dianggap oleh kawan sekitar. Pikiran-pikiran demikian
membentuk kategori-kategori yang saling kontradiktif semisal gaul dan tidak
gaul, ngetrend dan tidak ngetrend, masa kini dan jadul, modern dan terbelakang.
***
Kedua produk budaya tersebut
bukannya berdiri satu sama lain. Ia saling berkelindan diantara tekanan dan
kesenangan semu. Misal, ketika beban kuliah yang semakin berat demi mengejar
SKS, kita disuguhi aneka kegiatan yang menyenangkan seperti nonton bioskop,
belanja, karaoke, dll.
Perlu dialog kebudayaan di
tingkatan mahasiswa. Agar semua mendapatkan kebebasannya mengekspresikan rasa
yang dimilikinya terhadap realitas. Agar kesadaran senantiasa mendapati jiwa
mahasiswa di tengah realitas semu. Agar kesadaran komunal itu membentuk pola
serta membekas dalam relung jiwa mahasiswa kita. []
Bahan kajian
2) News
Letter Tegalboto Pos Edisi VIII desember 2011. Dari esai Pandhalungan:hanya
sebuah awalan. Ditulis oleh Devi Dwiki Susanto dan diterbitkan oleh UKPKM
Tegalboto, Unej.
3) Bre
Redana dalam salah satu esainya berjudul “Alya”. Esai tersebut adalah salahsatu
dari kumpulan esainya dalam sebuah buku berjudul “Potret Manusia Sebagai Si
Anak Kebudayaan Massa”.
4) Muhammad
Al-Fayyadl dalam esainya berjudul “Bunuh Diri Kelas” di website
indoprogress.org