Rabu, 29 Agustus 2012

tentang mempercayai


Mereka bergerombol mempercayai sesuatu
Mereka mendominasi sebuah keinginan
Mereka larang orang lain menyambung hidup
Siapa sangka dibalik keberaturan
Ada korban, sekeping hati yang kecewa
Namun ia minoritas
Tersingkirkan
Dan mungkin suara kecil ini tak terdengar jua
Pikirnya lebih baik dipendam
Terbungkus senyum
Semuanya berjalan normal
Hingga tahun kemudian datang lagi
Berulang-ulang, terbiasa, dan hingga mati tak ada yang tahu.

30 mei 2011


Apa yang menarik dari senja di sungai martapura, selain pantulan cahaya jingga di atas air yang mengalir pelan. Rasanya rerumputan di pinggir sungai itu begitu cepat tumbuh berkembang. Baru kemarin, aku memandang dari seberang sekumpulan penjual batang bambu yang mengikuti arus sungai, berserah pada takdir. Sambil menunggu kail pancing dipatuk ikan yang kebetulan khilaf. Mereka merenung memandang nasib dari balik air yang keruh. Bisakah malam ini mereka malam ini tidur di daratan? Tidur di daratan berarti setumpuk bambu itu telah terjual pada masyarakat pinggir sungai yang mengharap tempat yang nyaman saat buang hajat. Mereka tak henti menawarkan kenyamanan saat buang hajat, demi tidak tenggelam karena terlalu berat beban. Pikiran mereka menerawang saat senja mampir disini. padahal saya kira senja adalah anugerah, lantas saya melihat raut sedih di wajah mereka, raut muka yang terlihat pasrah, tidak ada pengharapan. Benarkah mereka telah putus asa? Saya mulai berspekulasi dengan cara pandang, dan mengambil jalan pintas melalui prasangka, sepihak, tak adil. Padahal bisa saja saya yang sebenarnya keheranan melihat realitas. Saat tak ada lagi pengharapan karena berkali-kali dikecewakan oleh nasib, takdir. Lantas mempersalahkan tuhan sebagai pengatur segalanya, dan memprasangkakan masalah pada pribadi lain. apakah saya telah kehilangan jati diri? Ataukah hidup memang begitu sederhana kali ini? mengharapkan sesuatu dari kebetulan-kebetulan. Menjalani hidup dari peruntungan di meja judi. Tangis dalam kekalahan, dan congkak dalam kemenangan. Tak saya sadari saya pun telah melamun sedemikian lama senja ini. untunglah senja belum pamit tuk pergi. Senja yang selalu datang saat jam-jam bersantai memang memabukkan. Membuat orang-orang merenung, menerawang dalam alam pikir masing-masing. Mematikan indera tuk sementara, tak berjawab pada akhirnya. Hanya spontanitas atas segala macam absurditas yang dipertontonkan setiap hari oleh realita. Namun, saya tak mengharap pada jawab, hanya selinting pertanyaan yang dibungkus diam, dan dilempar pada air yang dalam, tenggelam perlahan, entah dimana. Untunglah saya tersadar oleh nyamuk-nyamuk kecil yang meminta darah pada saya. Saya melawan nyamuk nakal, kemudian pergi. Senja telah meninggalkan kesendirian yang perlahan menghitam karena terhalang oleh bumi diujung sana. Pertanda dari usainya pentas perenungan bagi mereka yang menggila karena resah yang memuncak, namun tak bisa berontak. Juga bagi takdir penjual bambu yang mengalir bersama arus air sungai, menemui pagi dan menghantarkan senja, setiap hari.

Banjarmasin, 30 mei 2011 

ziarah


Ada satu kebiasaan khalayak ramai bahwa lebaran akan dilewatkan dengan ziarah. Maka taman pemakaman umum yang biasanya sunyi senyap, menjadi ramai oleh lalu lalang peziarah.
Begitu pula yang saya alami dengan lebaran kali ini. selepas bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, saya dengan beberapa kawan semasa kecil berjalan kaki berkeliling kampung. Menyinggahi satu persatu makam, yang dari sekian banyak makam itu ada yang tidak sezaman dengan saya hidup. kami menyambangi makam itu tak lebih dari rasa ekspresi kesyukuran akan apa yang telah mereka bangun dengan kampung ini.
Sama seperti saat saya ziarah ke makam bung karno bersama rekan-rekan pers mahasiswa beberapa bulan lalu. berziarah kepada tetuha kampung saya hari itu adalah sebuah momentum refleksi atas diri saya sendiri dan perjalanan kampung kami.
Kampung kami, kental dengan nuansa religius. Terletak di pinggiran kota martapura, perlahan ia mulai tergerus oleh modernisasi perkotaan. Namun, apa yang menjadi kesyukuran saya hari ini adalah bahwa di kampung ini, masih tegak berdiri sebuah madrasah. Sebuah madrasah yang meskipun saya tak sempat menuntaskan bersekolah disana karena berbenturan dengan sekolah negeri yang mesti saya pilih.
Mungkin saya tak sempat bertemu dan belajar secara langsung kepada beliau-beliau itu. dari ziarah itu, ada satu doa yang tak pernah saya tinggalkan. Agar kampung ini tetap terjaga dengan kediriannya menghadapi modernitas. Itu saja, meskipun mungkin keadaan nanti akan berbicara lain. Karena bisa saja, disaat keadaan berbicara lain yang mengharuskan saya meninggalkan kampung ini untuk merantau.
Selain itu, kami juga berziarah ke makam kawan masa kecil saya yang lebih dulu meninggal. Letaknya yang berada di ujung pemakaman, disampingnya tumbuh bunga kenanga. Semacam ada kesendirian yang begitu hening. Kesendirian yang melebihi batas definisi kesendirian itu sendiri.
Maka disana, kenangan-kenangan masa lalu kami. Kenakalan seorang anak-anak yang terkadang begitu menjengkelkan, sekaligus begitu polos menghadir diantara ruang ingat.
Terakhir, saya berpencar dengan kawan saya. Saya meneruskan ziarah ke makam kakek dan datuk saya, sementara kawan saya pulang. Tinggallah saya sendiri. Kali ini, suasananya tentu begitu dekat. Meskipun, kini selalu ada jarak. Cerita-cerita yang dikisahkan oleh abah saya tentang kakek saya itu membuat saya tak lupa akan diri saya dan asal keluarga saya.
Sementara bagi abah, lebaran kali ini begitu mengharukan. Ibunya, yang juga nenek saya, tujuh bulan lalu, berpulang. Maka jika lebaran adalah momentum masa lalu. Maka itulah yang kemudian membuat ayah dengan suara bernada getir ketika meminta anak-anaknya untuk ziarah ke kubur ibunya. Di matanya, saya melihat ketulusan dan penyesalan seorang anak. ini pula yang membuat perasaan saya menjadi dingin. Esoknya, saya menjadi begitu sentimentil ketika berbicara kematian. Aih, lebaran..[]

keluarga


Hampir setiap dari kita mungkin akan sepakat bahwa keluarga adalah awal dimana kita menemui orang selain diri kita dalam hidup. Kita, selayaknya mahluk sosial, merekam jejak kenangan itu dalam memori. Dan kita, selayaknya mahluk berperasaan, menyimpan memori-memori itu dalam pikiran-pikiran kita. Hingga ialah kenangan yang selalu hadir diantara realitas. Selalu ada masa lalu yang membayangi kehidupan kita. Ya, konstruksi diri kita saat ini, tak lain adalah kesebangunan dari berbagai kenangan-kenangan dasariah kita.
Di dalam keluarga pondasi keperibadian kita dibentuk. Di keluarga, kita diajarkan tentang tentang moralitas. Di keluarga, kita diperlihatkan tentang arti ketulusan. Kita yang dulu begitu nakal, merengek meminta sesuatu kepada orang tua.
Saya teringat bahwa bagaimana ketika dulu, saat kawan sebaya saya dibelikan oleh orang tuanya mobil-mobilan. Sementara orang tua saya, dengan berbekal peralatan palu dan gergaji, membuatkan anaknya mobil-mobilan. Bagaimana mungkin saya akan melupakan bagaimana ayah saya satu persatu mengumpulkan kayu di kolong rumah hingga jadi sebuah karya sederhana sehingga saya pun bisa ikut bermain dengan kawan saya yang lain.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ayah saya, menggenjot sepedanya di tengah malam, membawa pulang saya yang saat itu tertidur dikursi belakang dari sebuah pengajian. Lantas mengikat badan saya dengan badannya agar tidak terjatuh. Hingga dingin malam seakan hilang karena tubuh ayah saya yang hangat.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ibu saya membuatkan baju yang saya pakai untuk melihat pameran yang ternyata tak lebih dari pasar malam. Dan dengan bangganya saya memakai setelan itu hingga membuat orang tua saya mengeluarkan senyum yang begitu teduh.
Bagaimana mungkin, saya akan melupakan itu semua. Orang tua selalu punya cara untuk menyenangkan kita. meskipun materi, mungkin tak selalu ada.
Waktu menampilkan semua apa adanya kepada kita, dengan telanjang. Hingga hari ini, masa depan selalu saja tak terjawab. Sementara masa lalu seperti bayangan. Masa lalu menjadi bukti kekuatan kita menghadapi kenyataan.
Waktu pula yang membawa kita pada kenyataan bahwa semua pada akhirnya akan menua. Orang tua yang tadinya begitu pugar sehingga mampu memenuhi permintaan anaknya dengan sederhana, mungkin akan berkurang kemampuan fisiknya.
Waktu pula yang membuat kita yang dulu adalah seorang anak ingusan yang hanya sibuk menghitung seberapa besar kelereng yang bisa dia menangkan hari itu, hari ini bermetamorfosa menjadi seorang pemuda atau seorang gadis.
Sementara keadaan seringkali membuat kita lupa. Kesempatan-kesempatan datang kepada kita seperti serombongan sales yang memberikan tawaran yang terlihat menggiurkan. Maka tak jarang, kita lupa pada yang asali pada diri.
Kali ini, kita tidak sedang berdebat tentang kebenaran. Biarlah kebenaran ada di menara gadingnya. Pengetahuan kita mungkin telah berkembang sedemikian rupa. Bahkan, mungkin saja ada beberapa nilai yang kita terima saat kecil oleh orang tua, tak bisa kita terima lagi hari ini. Sekali lagi, ini bukan perdebatan tentang nilai kebenaran yang disampaikan. Ia lebih dari itu, ia adalah tentang bagaimana kita memposisikan diri diantara kenangan-kenangan itu. Ia adalah tentang bagaimana kita merujuk kembali pada apa yang telah membangun identitas kita hingga hari ini.
Maka hari ini, menjadi manusia modern adalah menjadi manusia urban, menjadi manusia pekerja. Maka tak jarang pula, kita merantau. Bukankah merantau berarti pergi meninggalkan? Lantas, apakah merantau juga berarti kita akan meninggalkan kenangan kita?
Realitas sepertinya lebih kejam dari sekedar perkiraan kita. Karena realitas seringkali membuat kita lupa. Menjadi manusia perantau mengandung konsekuensi akan meninggalkan sesuatu keseharian. Bisa juga, menjadi manusia perantau akan berarti pula siap menjadi orang lain yang tak terketahui oleh kita sebelumnya.
Akan tetapi, toh realitas mesti dihadapi dengan apa adanya bukan?
Maka mudik bisa pula adalah momen kembali. Disana, kita menemukan yang asali pada diri. Bagaimana kita dipertemukan dengan ruangan tempat kita dilahirkan dulu. Bagaimana kita diperlihatkan dengan barang-barang mainan kita yang melapuk bahkan rusak. Bagaimana kita melihat bingkai foto yang terpampang di dinding yang disana ada foto seorang anak digendong oleh ayahnya. Bagaimana dari foto itu tergambar senyum seorang ayah yang begitu bangga atas kesehatan anaknya.
Barang-barang itu semua adalah pertanda tentang bagian-bagian dari apa yang membangun identitas kita. Melalui kenangan, ia seakan hidup. Dan melalui manusia, yaitu orang-orang di masa lalu kita (pengasuh kita) ia mestinya akan abadi. []



Minggu, 12 Agustus 2012

mental tempe ; simbol inferioritas kita?


Muhammad Arsyad
“Kau itu bermental tempe.” Mungkin kita sering mendengar kalimat itu, menyebut seseorang dengan bermental tempe. Kata mental dan tempe sudah ada sebelumnya dalam benak. Pemilahan kata mental mungkin tak menjadi masalah karena ia mencoba menyebut suatu objek. Masalah ada ketika “kenapa kita mesti menyebut tempe dibelakang kata mental itu?”.
Bung karno, presiden pertama kita pernah berpidato ditengah pendengarnya “janganlah kita menjadi bangsa tempe.” Nah, ini juga menimbulkan satu pertanyaan, kenapa kata tempe dibawa-bawa hanya untuk menambah dramatis suatu kalimat? Apalagi, disana Bung Karno menambah kata jangan. Itu artinya ia mendakwa menjadi bangsa tempe mesti dihindari. Barangsiapa yang menjadi bangsa tempe,maka siallah ia. Setidaknya, begitu penafsiran sekilas ketika kita mendengar pernyataan bung karno itu.
Apa ia Bung Karno tak membaca sejarah bagaimana tempe sebenarnya merupakan makanan masyarakat jawa sejak abad ke-16 yang lalu. Dalam Manuskrip Serat Chentini yang ditulis pada awal abad ke-19, pada bab 3 dan bab 12 itu, dengan settingan abad ke-16 sudah ditemukan kata tempe. Apa ia Bung Karno tak menyadari kondisi rakyat saat Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang saat itu menerapkan kebijakan tanam paksa yang mengharuskan rakyat menanam tebu dan karet. Sehingga rakyat harus mencuri waktu dan mengharuskan mereka bertahan dengan memanfaatkan hasil kebun seperti ubi, singkong dan kacang soya. Dan kacang soya ini yang difermentasikan hingga menjadi tempe.
Kita tinggalkan Bung Karno dan orang-orang yang menyebut kata tempe. Marilah kita tarik istilah mental tempe dan bangsa tempe ini ke meja persidangan logika kita, tanpa harus membawa serta siapa yang menyebut kata itu. Karena mungkin tanpa berkata pun, kita mengamini seseorang yang berkata demikian melalui paradigma kita.
Baik itu mental tempe ataupun bangsa tempe adalah metafor. Ia bermaksud menandakan sesuatu dengan menganalogikannya pada sesuatu yang lain. Tempe tidak hanya ada disekitar kita, sebagai tanda ia memiliki kondisi material (tempe sebagaimana tempe yang kita makan), dan kondisi imaterial (tempe dalam konstruksi pikiran kita). Karena tempe juga memiliki dimensi imaterial, maka ia bisa saja menjadi salah satu referensi penamaan kita terhadap sesuatu yang lain. Kata tempe dalam pikiran kita, bisa saja kita comot untuk menandakan sesuatu yang lain, seperti kasus menambah kata tempe di belakang kata mental sehingga menjadi kata dengan makna baru yaitu mental tempe.
Kenapa kita harus mengambil kata tempe? Disini kita akan coba memperlawankannya dengan hamburger. Ya, kenapa kita tidak menggunakan kata mental hamburger untuk mengganti kata mental tempe?
Mental dan bangsa dalam kata mental tempe dan bangsa tempe adalah ia sebagai objek. Penambahan kata tempe dibelakangnya menandakan suatu kondisi. Karena itu, ketika kata tempe kita ganti menjadi hamburger, maka ceritanya akan lain.
Seringkali mental tempe merujuk pada kondisi mental yang rendahan dan pecundang. Apa ini karena tempe adalah makanan dengan harga yang murah sehingga merakyat [meskipun kandungan gizinya ternyata tinggi]?
Novel Para Priyayi karangan Umar Kayam yang dirilis tahun 1994 menguatkan paradigma tersebut. Terselip seorang tokoh, Ngadiyem namanya. Ia tiap pagi menjajakan tempe dan menjadi langganan sebuah keluarga priyayi, keluarga Sastrodarsono. Soenandar, anak kemenakan Sastrodarsono yang seorang perampok gerombolan memperkosa Ngadiyem dan melahirkan Lantip. Lantip yang saat kecil tidak mengetahui asal usul ayahnya, dibesarkan oleh Ngadiyem. Lantip kecil sering membantu ibunya menjajakan tempe. Saat berada di rumah Sastrodarsono, mereka berdua minder. Lantip berbicara dengan kepala tertunduk karena ia yang anak seorang pedagang tempe tidak pantas berbicara dengan seorang priyayi.
Gerak tubuh Lantip menandakan kelas sosial ia. Kata “mental tempe” juga menandakan suatu kelas sosial. Yaitu kelas sosial dengan pola pikir dan kebudayaan yang terbelakang. Karena itu, bila kita coba berpikir nakal dan eksperimentatif, bagaimana jika kemudian, kata mental tempe yang menandakan mental terbelakang itu kita ganti dengan kata mental hamburger? Mungkin ada konstruksi makna yang berbeda. Ada mitos yang coba dikacaukan olehnya. Ada suatu sikap untuk membalikkan mitos bahwa bukan tempe yang terbelakang, tetapi hamburger. Bahwa kelas sosial yang rendah pola pikirnya bukanlah ia yang bersinggungan dengan tempe, tetapi ia yang bersinggungan dengan hamburger. Eksperimen saya beralasan, kenapa saya memilih hamburger adalah karena hamburger di negara asalnya adalah makanan cepat saji bagi para pekerja karena mereka tak sempat untuk makan siang.
Bangsa Tempe Dalam Artian Sesungguhnya
Apakah mungkin kita adalah bangsa tempe dalam artian sesungguhnya? Jika begitu, kenapa Bung Karno melarang? Mari kita jawab.
Hari ini, tempe menjadi komoditas pangan yang sangat penting oleh mayoritas penduduk Indonesia. Selain harganya yang murah, ia juga sarat gizi. Sementara hamburger lebih berada pada masyarakat kelas menengah. Ia lebih diterima sebagai makanan yang tidak hanya sebagai makanan tetapi ia sebagai penanda kelas sosial. “Aku makan hamburger karena aku mampu ke Mcdonald’s, apalagi untuk membeli tempe,” misalnya.
William shurtleff dalam bukunya “the book of tempeh” menyebut tempe sebagai “a super soyfood from Indonesia”. Sementara hamburger adalah makanan yang terbuat dari daging cincang yang dibentuk bundar lalu digoreng dalam minyak panas, yang kemudian diapit oleh irisan roti dan sayur mayur. Ini makanan cepat saji yang berasal dari Hamburg (kota di Jerman) yang kemudian dipopulerkan dan lebih lekat sebagai sebuah nama restoran waralaba Mcdonald’s.
Maka sebutlah misal, tempe asal-usulnya dari Indonesia dan hamburger dari luar Indonesia. Atau misal, tempe adalah jati diri kita dan hamburger bukan jati diri kita. Asal-usul selalu merujuk pada rentetan-rentetan. Bila demikian tempe yang kita makan hari ini adalah asal-usul kita, maka ternyata justru salah. Kedelai sebagai bahan utama tempe ternyata hanya 30% dipenuhi oleh pasar domestik. Sisanya yang 70% itu dipenuhi oleh pasar luar negeri. Kedelainya tidak berasal dari tanah kita, Indonesia. Secara kultural, tempe memang dekat dengan keseharian kita, akan tetapi komoditas utama yang membangun tempe itu ada, ternyata mayoritas berasal dari luar. Keadaan yang terbalik terjadi jika kita menilik daging sapi sebagai bahan utama hamburger. Pemenuhan kebutuhan domestik akan daging sapi hanya ditutupi 23% oleh pasar luar negeri.
Lalu, apakah ini yang menyebabkan Bung karno melarang kita untuk menjadi bangsa tempe untuk kemudian menjadi bangasa hamburger saja? Hehe
***
Disaat, tempe menjadi mahal. Dan kedelai menjadi langka karena kita ternyata lebih mengandalkan kedelai impor sebagai bahan utama tempe. Kita akhirnya mengerti bahwa ternyata tempe ada di sekitar kita, pada wilayah terdekat dengan keseharian kita. sesuatu yang masuk selalu dalam mulut dan perut kita. ia yang menyatu dalam darah kita. Dan kita, melalui metafor, memakainya sebagai sesuatu yang hina. Dan untuk itulah, kita ternyata telah menjadi bangsa inferior. Menggunakan sesuatu yang melekat pada kita sebagai tanda kemunduran kita sendiri. Selamat !

Ngopi dan pertanyaan universalnya


“orang-orang selalu menjawab apa yang menjadi keharusan dalam hidup, sementara pertanyaan-pertanyaan selalu hadir diantaranya, dalam keresahan yang tak pasti”

Sementara kopi bukan sekedar upaya pemenuhan kita atas rasa. Kopi adalah ia yang ada diantara kompromi. Malam itu, saya dan beberapa karib memutuskan untuk menikmati kebersamaan kami disebuah ruang. Sebuah ruang yang kami sepakati adalah ruang yang memberikan kesempatan kepada kami untuk membangun komunikasi.
Semacam kafe, dengan brand kopi selayaknya adalah tanda bahwa ia memberikan jalan bagi aktivitas yang berhubungan dengan cara hidup kita. saya sendiri baru kali pertama bertandang ke kafe ini. dan gambaran saya tentang kafe kopi adalah memberikan suasana yang nyaman kembali hadir.
Ngopi jadinya bukan hanya cara kita menikmati seduhan kopi di air panas, ia memberikan ruang komunal.
Pengunjung berkerumun masing-masing. Mereka yang rata-rata adalah mahasiswa merayakan sesuatu yang tidak mereka dapat diantara rutinitas, yaitu kebebasan berbicara.
Entah apa yang mereka perbincangan diantara kerumunan-kerumunan itu. selayaknya orang yang baru hadir diantara suatu ruang. Saya mencoba mengamati, untuk kemudian berbincang tentang berbagai kemungkinan.
Cara ngopi seperti ini memang akan terdengar sebagai cara perayaan konsumerisme. Karena tempat ini menawakan gaya hidup yang seyogyanya ia menciptakan keberbedaan dengan yang lain. Keberbedaan yang diskrimnatif bahkan. Bahwa, ngopi seperti ini akan menciptakan kelas-kelas sosial baru-yang mampu membeli dan tidak, misalnya.
Tapi kemudian, setiap dari kita punya cara menikmati kehidupan. Tentang kenyamanan, kita punya definisi-definisi masing-masing. Akan tetapi, apakah dengan pernyataan ini saya akan dipersalahkan karena saya menikmati konsumerisme yang katanya jahat itu? Entah, saya berlalu lalang diantara kemungkinan-kemungkinan, akibat dari pertanyaan-pertanyaan yang saya bangun sendiri. Perlawanan adalah pertarungan kita melawan kelupaan kita sendiri.
Secangki kopi espresso tak luput dari bagaimana saya menikmati keadaan malam itu. kopi yang bagi kawan-kawan saya, adalah kopi yang pahit sehingga mayoitas mereka tidak suka. “terlalu ekstrim” katanya. Bagi saya, rasa yang kuat akan berpadu cantik dengan sebatang rokok. Sementara kawan-kawan saya menikmati kopi yag ia notabene adalah kopi dengan corak rasa yang soft.  Lalu saya berpikir, apakah dengan perbedaan selera ini akan menggambarkan kelas-kelas sosial baru? Pun, akhirnya pertanyaan-pertanyaan saya selalu berakhir sebagai pertanyaan. Namun, dengan cara itu, kami menikmati ruang komunikasi kami.
Saya dan abdi, sibuk mengutip pernyataan-pernyataan  untuk kemudian dipertanyakan kebelanjutannya. Lalu kami, menghayalkan masa depan. Menghayal bersama ditemani kopi akan terasa sangat lengkap. Selebihnya, adalah keharusan bagi kami untuk meneruskan pertanyaan ini pada sebuah sikap. Sikap yang tak bisa secara langsung kami hubungkan dalam kata. Diam berakhir pada dua kemungkinan; ketidaktahuan dan kebijaksanaan.
Soal ketidaktahuan, ia semacam cara bagi kita untuk selalu bodoh sehingga kita sadar akan ketebatasan. Dan kebijaksanaan tak lain adalah bahasa langit yang selalu menjadi mimpi bagi kami.
Dari sekian cara kami menikmati diskusi malam itu, anehnya kami bersepakat untuk tidak membahas politik konstitusional. Sudah cukup bagi kami, dicecoki berita-berita yang membuat jarak diantara kehidupan terdekat kami. Jadilah, kami berbicara tentang hal-hal sederhana. Tentang bagaimana sebenarnya kita sekerasnya berpikir yang ianya representasi manusia, selain kita adalah bagian dari sistem kosmos yang selalu tak dapat diprediksi perubahannya. Perubahan ini menyeluruh dari perubahan besar hingga kecil yang keduanya adalah cara kita memaknai nasib kita masing-masing.
Satu persatu pengunjung di kafe itu tak lagi ada. Saya disadarkan bahwa, kami adalah pengunjung paling akhir dan kami mesti bayar dan pulang. Diperjalanan pulang, saya berpikir bahwa ngopi adalah hal kompleks yang tak secara mendadak kita peluk. Ia menyiratkan dinamika yang tiada henti. Ia menawarkan pertanyaan-pertanyaan.[]

Senin, 09 Juli 2012

KEMANA AKHIRNYA CITRA MAHASISWA DIBAWA?



Oleh : Muhammad Arsyad
Kebudayaan menurut koentjaraningrat dimaknai sebagai ide, tindakan, dan karya.1) Ide yang dimanifestasikan dalam wujud tindakan yang menghasilkan output berupa karya. Namun, pendasaran makna kebudayaan secara teoritis membuat kesan budaya menjadi kaku. Padahal, budaya sifatnya fleksibel berdasarkan pada dimensi ruang dan waktu.
Suatu budaya akan mengalami pemaknaan yang berbeda oleh setiap zaman karena masyarakat sebagai pelaku kebudayaan adalah suatu ranah yang tidak stabil.2) Proses penyesuaian budaya dengan perubahan masyarakat itu akan menghasilkan suatu harmonisasi. Budaya selalu mencari makna dibalik kondisi sosial dan lingkungan tersebut. Misal, budaya orang banjar hilir berbeda dengan budaya orang banjar pahuluan karena aspek nilai yang diserap oleh budaya tersebut berdasarkan kondisi ruang yang memengaruhinya serta masyarakat sebagai pelaku kebudayaan terus menyesuaikannya.  Disinilah suatu produk kebudayaan akan mengalami dinamikanya. Jadi, suatu produk kebudayaan akan bertahan ketika ia tercipta dari masyarakat serta memiliki makna yang dalam di setiap relung jiwa dan pikiran masyarakat tersebut.
Masyarakat bukanlah satu kesatuan. Ia merupakan himpunan dari beragam identitas dan latar belakang sosial masing-masing pelaku. Dalam masyarakat, ada masyarakat akar rumput, ada pemangku kebijakan, misal pemerintah, ada pemerhati kebijakan, misal akademisi, serta ada gerakan emansipasi seperti banyak diperankan oleh pegiat sosial. Kebudayaan berakar dari masyarakat akar rumput, yang didasari atas kesadaran komunal dalam memaknai dan bertindak terhadap realitas.
***
Seorang mahasiswa datang ke kampus, mengendarai mobil, menenteng gadget kemana-mana yang semuanya notabene mahal. Mereka nongkrong di kantin kampus, membicarakan tentang banyak hal. Dari pakaian mereka, dari merk-merk yang mereka kenakan, mereka mencoba menampilkan dari ranah sosial mana ia berasal.
Inilah zaman dimana kesadaran merk berlangsung sangat pesat. Berbagai macam merk secara blak-blakan berdenyut diantara kehidupan kampus yang kental dengan nuansa akademis. Namun, ia tak sekadar berbicara tentang merk dan konsumerisme. Suatu korporasi besar tak hanya menyuguhkan sebuah produk, tetapi juga menawarkan kepada kita sebuah gaya hidup. gaya hidup yang memberikan kepada kita sebuah citra. Citra disini saya artikan sebagai cara pandang orang lain terhadap entitas. Citra adalah suatu yang melekat kepada kita sebagai bagian dari identitas kita dari sudut pandang orang lain. Ia menciptakan realitas yang tidak terkontrol oleh kita. ini yang dikatakan oleh Bre Redana sebagai realitas semu (virtual reality). Sangat bias membedakan antara yang mana virtual reality dan yang mana realitas yang sebenar-benarnya.3)
Dalam masyarakat kapitalisme kontemporer, apa yang dinamakan gaya hidup kaum urban adalah wujud dari realitas semu. Disini kebudayaan mendapat tantangan baru, yaitu bahwa kebudayaan masyarakat akan dipengaruhi oleh realitas semu. Realitas semu yang selalu mementingkan aspek pencitraan padahal kering makna. Bahkan kebudayaan dipoles sedemikian rupa demi kepentingan pariwisata global oleh investor dan pemerintah. Kapitalisme tidak hanya menawarkan suatu gaya hidup yang baru, akan tetapi juga memoles kebudayaan lama demi kepentingan pasar.
***
Pengamat gerakan mahasiswa dari luar ataupun barangkali ada mahasiswa yang masih berpikiran idealistis banyak gundah dan berkesimpulan bahwa apa yang menjadi faktor kemunduran gerakan mahasiswa adalah gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Benarkah demikian?
Dalam menilai suatu produk budaya, salah satu caranya adalah mengidentifikasi citra dan darimana budaya tersebut terbentuk.
Pertama, budaya mahasiswa yang berasal dari kebijakan kampus. Pada banyak institusi pendidikan tinggi terdapat paradigma “Menjadi mahasiswa adalah untuk mendapatkan gelar untuk kemudian bekerja.” Orientasi institusi pendidikan seperti ini adalah guna memenuhi kebutuhan pencari kerja. Ketika semakin sempitnya lapangan kerja, hingga ketidakmampuan peserta didik dalam menjawab tuntutan zaman adalah wujud dari kegagalan pendidikan dalam sistem yang seperti ini. Citra budaya mahasiwa seperti ini menggambarkan watak individualistis dari seorang manusia tanpa membangun sebuah kesadaran komunal akan hidup. Pejabat kampus sebagai pemilik otoritas mesti memberi ruang agar kesadaran komunal ini terbentuk. Bukan dalam artian membuat kebijakan yang membatasi potensi sosial itu. Ditingkatan ini, budaya justru dibentuk oleh kebijakan kampus, bukan mahasiswa. Mahasiswa justru berperan sebagai objek yang mesti menjalankan sebuah sistem besar ini.
Keadaan demikian berimplikasi kepada mahasiswa secara personal maupun kepada organisasi kemahasiswaan. Secara personal, mahasiswa menjadi tunduk dan patuh terhadap sistem yang mengharuskan ia berstudi cepat dan memenuhi kriteria kampus. Analisa terhadap problema sosial pun menjadi dangkal karena ia dituntut cepat dalam menyelesaikan studi.
Dampak sosialnya ditanggung oleh organisasi kemahasiswaan. Regenerasi kepemimpinan serta pegiat organisasi kemahasiswaan sangat cepat berulang hingga banyak organisasi kemahasiswaan mengalami disorientasi gerakan. Antara jenis organisasi kemahasiswaan yang satu terkadang saling ambil jatah program. Atau barangkali, organisasi kemahasiswaan dikelola tidak sesuai dengan visi keorganisasian tersebut. Organisasi mahasiswa hanya dipakai sebagai batu loncatan tanpa memaknai nilai perjuangan dari organsasi itu. Organisasi kemahasiswaan juga selalu mencari citra di mata organisasi yang lain.  
Kedua, budaya mahasiswa yang dipengaruhi oleh kapitalisme kontemporer. Dari awal, tadi sudah disebut bahwa antara realitas sebenarnya dengan realitas semu menjadi samar. Apa itu kapitalisme kontemporer? Ia adalah sebuah sistem dimana manusia menjadi data statistik, kebutuhan menjadi komoditas, dan uang jadi tuhan. Ia menyebar melalui teknologi informasi, hiperrealitas, dan hiburan. Disana, terselip sebuah kesenangan semu.4)
Mahasiswa sebagai juga ia anak muda terbuai oleh kesenangan-kesenangan semu. Kita pasti pernah merasa menemui sebuah keadaan dimana kita dengan bisanya menganggap bahwa jakarta itu menarik dan mesti disinggahi, singapura itu kota tak pernah mati dan aku mesti kesana, sebuah bioskop di mall di Banjarmasin mesti disinggahi karena tempat tongkrongan anak muda, atau aku mesti memiliki perangkat elektronik canggih yang mahal itu agar dianggap oleh kawan sekitar. Pikiran-pikiran demikian membentuk kategori-kategori yang saling kontradiktif semisal gaul dan tidak gaul, ngetrend dan tidak ngetrend, masa kini dan jadul, modern dan terbelakang.
***
Kedua produk budaya tersebut bukannya berdiri satu sama lain. Ia saling berkelindan diantara tekanan dan kesenangan semu. Misal, ketika beban kuliah yang semakin berat demi mengejar SKS, kita disuguhi aneka kegiatan yang menyenangkan seperti nonton bioskop, belanja, karaoke, dll.
Perlu dialog kebudayaan di tingkatan mahasiswa. Agar semua mendapatkan kebebasannya mengekspresikan rasa yang dimilikinya terhadap realitas. Agar kesadaran senantiasa mendapati jiwa mahasiswa di tengah realitas semu. Agar kesadaran komunal itu membentuk pola serta membekas dalam relung jiwa mahasiswa kita. []

Bahan kajian
1)      Disadur dari www.tedikustandi.wordpress.com.
2)      News Letter Tegalboto Pos Edisi VIII desember 2011. Dari esai Pandhalungan:hanya sebuah awalan. Ditulis oleh Devi Dwiki Susanto dan diterbitkan oleh UKPKM Tegalboto, Unej.
3)      Bre Redana dalam salah satu esainya berjudul “Alya”. Esai tersebut adalah salahsatu dari kumpulan esainya dalam sebuah buku berjudul “Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa”.
4)      Muhammad Al-Fayyadl dalam esainya berjudul “Bunuh Diri Kelas” di website indoprogress.org