Senin, 09 Juli 2012

KEMANA AKHIRNYA CITRA MAHASISWA DIBAWA?



Oleh : Muhammad Arsyad
Kebudayaan menurut koentjaraningrat dimaknai sebagai ide, tindakan, dan karya.1) Ide yang dimanifestasikan dalam wujud tindakan yang menghasilkan output berupa karya. Namun, pendasaran makna kebudayaan secara teoritis membuat kesan budaya menjadi kaku. Padahal, budaya sifatnya fleksibel berdasarkan pada dimensi ruang dan waktu.
Suatu budaya akan mengalami pemaknaan yang berbeda oleh setiap zaman karena masyarakat sebagai pelaku kebudayaan adalah suatu ranah yang tidak stabil.2) Proses penyesuaian budaya dengan perubahan masyarakat itu akan menghasilkan suatu harmonisasi. Budaya selalu mencari makna dibalik kondisi sosial dan lingkungan tersebut. Misal, budaya orang banjar hilir berbeda dengan budaya orang banjar pahuluan karena aspek nilai yang diserap oleh budaya tersebut berdasarkan kondisi ruang yang memengaruhinya serta masyarakat sebagai pelaku kebudayaan terus menyesuaikannya.  Disinilah suatu produk kebudayaan akan mengalami dinamikanya. Jadi, suatu produk kebudayaan akan bertahan ketika ia tercipta dari masyarakat serta memiliki makna yang dalam di setiap relung jiwa dan pikiran masyarakat tersebut.
Masyarakat bukanlah satu kesatuan. Ia merupakan himpunan dari beragam identitas dan latar belakang sosial masing-masing pelaku. Dalam masyarakat, ada masyarakat akar rumput, ada pemangku kebijakan, misal pemerintah, ada pemerhati kebijakan, misal akademisi, serta ada gerakan emansipasi seperti banyak diperankan oleh pegiat sosial. Kebudayaan berakar dari masyarakat akar rumput, yang didasari atas kesadaran komunal dalam memaknai dan bertindak terhadap realitas.
***
Seorang mahasiswa datang ke kampus, mengendarai mobil, menenteng gadget kemana-mana yang semuanya notabene mahal. Mereka nongkrong di kantin kampus, membicarakan tentang banyak hal. Dari pakaian mereka, dari merk-merk yang mereka kenakan, mereka mencoba menampilkan dari ranah sosial mana ia berasal.
Inilah zaman dimana kesadaran merk berlangsung sangat pesat. Berbagai macam merk secara blak-blakan berdenyut diantara kehidupan kampus yang kental dengan nuansa akademis. Namun, ia tak sekadar berbicara tentang merk dan konsumerisme. Suatu korporasi besar tak hanya menyuguhkan sebuah produk, tetapi juga menawarkan kepada kita sebuah gaya hidup. gaya hidup yang memberikan kepada kita sebuah citra. Citra disini saya artikan sebagai cara pandang orang lain terhadap entitas. Citra adalah suatu yang melekat kepada kita sebagai bagian dari identitas kita dari sudut pandang orang lain. Ia menciptakan realitas yang tidak terkontrol oleh kita. ini yang dikatakan oleh Bre Redana sebagai realitas semu (virtual reality). Sangat bias membedakan antara yang mana virtual reality dan yang mana realitas yang sebenar-benarnya.3)
Dalam masyarakat kapitalisme kontemporer, apa yang dinamakan gaya hidup kaum urban adalah wujud dari realitas semu. Disini kebudayaan mendapat tantangan baru, yaitu bahwa kebudayaan masyarakat akan dipengaruhi oleh realitas semu. Realitas semu yang selalu mementingkan aspek pencitraan padahal kering makna. Bahkan kebudayaan dipoles sedemikian rupa demi kepentingan pariwisata global oleh investor dan pemerintah. Kapitalisme tidak hanya menawarkan suatu gaya hidup yang baru, akan tetapi juga memoles kebudayaan lama demi kepentingan pasar.
***
Pengamat gerakan mahasiswa dari luar ataupun barangkali ada mahasiswa yang masih berpikiran idealistis banyak gundah dan berkesimpulan bahwa apa yang menjadi faktor kemunduran gerakan mahasiswa adalah gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Benarkah demikian?
Dalam menilai suatu produk budaya, salah satu caranya adalah mengidentifikasi citra dan darimana budaya tersebut terbentuk.
Pertama, budaya mahasiswa yang berasal dari kebijakan kampus. Pada banyak institusi pendidikan tinggi terdapat paradigma “Menjadi mahasiswa adalah untuk mendapatkan gelar untuk kemudian bekerja.” Orientasi institusi pendidikan seperti ini adalah guna memenuhi kebutuhan pencari kerja. Ketika semakin sempitnya lapangan kerja, hingga ketidakmampuan peserta didik dalam menjawab tuntutan zaman adalah wujud dari kegagalan pendidikan dalam sistem yang seperti ini. Citra budaya mahasiwa seperti ini menggambarkan watak individualistis dari seorang manusia tanpa membangun sebuah kesadaran komunal akan hidup. Pejabat kampus sebagai pemilik otoritas mesti memberi ruang agar kesadaran komunal ini terbentuk. Bukan dalam artian membuat kebijakan yang membatasi potensi sosial itu. Ditingkatan ini, budaya justru dibentuk oleh kebijakan kampus, bukan mahasiswa. Mahasiswa justru berperan sebagai objek yang mesti menjalankan sebuah sistem besar ini.
Keadaan demikian berimplikasi kepada mahasiswa secara personal maupun kepada organisasi kemahasiswaan. Secara personal, mahasiswa menjadi tunduk dan patuh terhadap sistem yang mengharuskan ia berstudi cepat dan memenuhi kriteria kampus. Analisa terhadap problema sosial pun menjadi dangkal karena ia dituntut cepat dalam menyelesaikan studi.
Dampak sosialnya ditanggung oleh organisasi kemahasiswaan. Regenerasi kepemimpinan serta pegiat organisasi kemahasiswaan sangat cepat berulang hingga banyak organisasi kemahasiswaan mengalami disorientasi gerakan. Antara jenis organisasi kemahasiswaan yang satu terkadang saling ambil jatah program. Atau barangkali, organisasi kemahasiswaan dikelola tidak sesuai dengan visi keorganisasian tersebut. Organisasi mahasiswa hanya dipakai sebagai batu loncatan tanpa memaknai nilai perjuangan dari organsasi itu. Organisasi kemahasiswaan juga selalu mencari citra di mata organisasi yang lain.  
Kedua, budaya mahasiswa yang dipengaruhi oleh kapitalisme kontemporer. Dari awal, tadi sudah disebut bahwa antara realitas sebenarnya dengan realitas semu menjadi samar. Apa itu kapitalisme kontemporer? Ia adalah sebuah sistem dimana manusia menjadi data statistik, kebutuhan menjadi komoditas, dan uang jadi tuhan. Ia menyebar melalui teknologi informasi, hiperrealitas, dan hiburan. Disana, terselip sebuah kesenangan semu.4)
Mahasiswa sebagai juga ia anak muda terbuai oleh kesenangan-kesenangan semu. Kita pasti pernah merasa menemui sebuah keadaan dimana kita dengan bisanya menganggap bahwa jakarta itu menarik dan mesti disinggahi, singapura itu kota tak pernah mati dan aku mesti kesana, sebuah bioskop di mall di Banjarmasin mesti disinggahi karena tempat tongkrongan anak muda, atau aku mesti memiliki perangkat elektronik canggih yang mahal itu agar dianggap oleh kawan sekitar. Pikiran-pikiran demikian membentuk kategori-kategori yang saling kontradiktif semisal gaul dan tidak gaul, ngetrend dan tidak ngetrend, masa kini dan jadul, modern dan terbelakang.
***
Kedua produk budaya tersebut bukannya berdiri satu sama lain. Ia saling berkelindan diantara tekanan dan kesenangan semu. Misal, ketika beban kuliah yang semakin berat demi mengejar SKS, kita disuguhi aneka kegiatan yang menyenangkan seperti nonton bioskop, belanja, karaoke, dll.
Perlu dialog kebudayaan di tingkatan mahasiswa. Agar semua mendapatkan kebebasannya mengekspresikan rasa yang dimilikinya terhadap realitas. Agar kesadaran senantiasa mendapati jiwa mahasiswa di tengah realitas semu. Agar kesadaran komunal itu membentuk pola serta membekas dalam relung jiwa mahasiswa kita. []

Bahan kajian
1)      Disadur dari www.tedikustandi.wordpress.com.
2)      News Letter Tegalboto Pos Edisi VIII desember 2011. Dari esai Pandhalungan:hanya sebuah awalan. Ditulis oleh Devi Dwiki Susanto dan diterbitkan oleh UKPKM Tegalboto, Unej.
3)      Bre Redana dalam salah satu esainya berjudul “Alya”. Esai tersebut adalah salahsatu dari kumpulan esainya dalam sebuah buku berjudul “Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa”.
4)      Muhammad Al-Fayyadl dalam esainya berjudul “Bunuh Diri Kelas” di website indoprogress.org