Muhammad Arsyad
“Kau itu bermental tempe.” Mungkin kita sering mendengar kalimat
itu, menyebut seseorang dengan bermental
tempe. Kata mental dan tempe sudah ada sebelumnya dalam benak. Pemilahan
kata mental mungkin tak menjadi masalah karena ia mencoba menyebut suatu objek.
Masalah ada ketika “kenapa kita mesti menyebut tempe dibelakang kata mental
itu?”.
Bung karno,
presiden pertama kita pernah berpidato ditengah pendengarnya “janganlah kita
menjadi bangsa tempe.” Nah, ini juga menimbulkan satu pertanyaan, kenapa kata
tempe dibawa-bawa hanya untuk menambah dramatis suatu kalimat? Apalagi, disana Bung
Karno menambah kata jangan. Itu artinya ia mendakwa menjadi bangsa tempe mesti
dihindari. Barangsiapa yang menjadi bangsa tempe,maka siallah ia. Setidaknya,
begitu penafsiran sekilas ketika kita mendengar pernyataan bung karno itu.
Apa ia Bung
Karno tak membaca sejarah bagaimana tempe sebenarnya merupakan makanan
masyarakat jawa sejak abad ke-16 yang lalu. Dalam Manuskrip Serat Chentini yang
ditulis pada awal abad ke-19, pada bab 3 dan bab 12 itu, dengan settingan abad
ke-16 sudah ditemukan kata tempe. Apa ia Bung Karno tak menyadari kondisi
rakyat saat Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang saat itu menerapkan kebijakan
tanam paksa yang mengharuskan rakyat menanam tebu dan karet. Sehingga rakyat
harus mencuri waktu dan mengharuskan mereka bertahan dengan memanfaatkan hasil
kebun seperti ubi, singkong dan kacang soya. Dan kacang soya ini yang
difermentasikan hingga menjadi tempe.
Kita
tinggalkan Bung Karno dan orang-orang yang menyebut kata tempe. Marilah kita
tarik istilah mental tempe dan bangsa tempe ini ke meja persidangan logika
kita, tanpa harus membawa serta siapa yang menyebut kata itu. Karena mungkin
tanpa berkata pun, kita mengamini seseorang yang berkata demikian melalui
paradigma kita.
Baik itu
mental tempe ataupun bangsa tempe adalah metafor. Ia bermaksud menandakan
sesuatu dengan menganalogikannya pada sesuatu yang lain. Tempe tidak hanya ada
disekitar kita, sebagai tanda ia memiliki kondisi material (tempe sebagaimana
tempe yang kita makan), dan kondisi imaterial (tempe dalam konstruksi pikiran
kita). Karena tempe juga memiliki dimensi imaterial, maka ia bisa saja menjadi
salah satu referensi penamaan kita terhadap sesuatu yang lain. Kata tempe dalam
pikiran kita, bisa saja kita comot untuk menandakan sesuatu yang lain, seperti
kasus menambah kata tempe di belakang kata mental sehingga menjadi kata dengan
makna baru yaitu mental tempe.
Kenapa kita
harus mengambil kata tempe? Disini kita akan coba memperlawankannya dengan
hamburger. Ya, kenapa kita tidak menggunakan kata mental hamburger untuk
mengganti kata mental tempe?
Mental dan
bangsa dalam kata mental tempe dan bangsa tempe adalah ia sebagai objek.
Penambahan kata tempe dibelakangnya menandakan suatu kondisi. Karena itu,
ketika kata tempe kita ganti menjadi hamburger, maka ceritanya akan lain.
Seringkali
mental tempe merujuk pada kondisi mental yang rendahan dan pecundang. Apa ini
karena tempe adalah makanan dengan harga yang murah sehingga merakyat [meskipun
kandungan gizinya ternyata tinggi]?
Novel Para
Priyayi karangan Umar Kayam yang dirilis tahun 1994 menguatkan paradigma
tersebut. Terselip seorang tokoh, Ngadiyem namanya. Ia tiap pagi menjajakan
tempe dan menjadi langganan sebuah keluarga priyayi, keluarga Sastrodarsono.
Soenandar, anak kemenakan Sastrodarsono yang seorang perampok gerombolan
memperkosa Ngadiyem dan melahirkan Lantip. Lantip yang saat kecil tidak
mengetahui asal usul ayahnya, dibesarkan oleh Ngadiyem. Lantip kecil sering
membantu ibunya menjajakan tempe. Saat berada di rumah Sastrodarsono, mereka
berdua minder. Lantip berbicara dengan kepala tertunduk karena ia yang anak
seorang pedagang tempe tidak pantas berbicara dengan seorang priyayi.
Gerak tubuh Lantip
menandakan kelas sosial ia. Kata “mental tempe” juga menandakan suatu kelas
sosial. Yaitu kelas sosial dengan pola pikir dan kebudayaan yang terbelakang.
Karena itu, bila kita coba berpikir nakal dan eksperimentatif, bagaimana jika
kemudian, kata mental tempe yang menandakan mental terbelakang itu kita ganti
dengan kata mental hamburger? Mungkin ada konstruksi makna yang berbeda. Ada
mitos yang coba dikacaukan olehnya. Ada suatu sikap untuk membalikkan mitos bahwa
bukan tempe yang terbelakang, tetapi hamburger. Bahwa kelas sosial yang rendah
pola pikirnya bukanlah ia yang bersinggungan dengan tempe, tetapi ia yang
bersinggungan dengan hamburger. Eksperimen saya beralasan, kenapa saya memilih
hamburger adalah karena hamburger di negara asalnya adalah makanan cepat saji
bagi para pekerja karena mereka tak sempat untuk makan siang.
Bangsa Tempe Dalam Artian Sesungguhnya
Apakah
mungkin kita adalah bangsa tempe dalam artian sesungguhnya? Jika begitu, kenapa
Bung Karno melarang? Mari kita jawab.
Hari ini,
tempe menjadi komoditas pangan yang sangat penting oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Selain harganya yang murah, ia juga sarat gizi. Sementara hamburger lebih
berada pada masyarakat kelas menengah. Ia lebih diterima sebagai makanan yang
tidak hanya sebagai makanan tetapi ia sebagai penanda kelas sosial. “Aku makan hamburger karena aku mampu ke
Mcdonald’s, apalagi untuk membeli tempe,” misalnya.
William
shurtleff dalam bukunya “the book of
tempeh” menyebut tempe sebagai “a
super soyfood from Indonesia”. Sementara hamburger adalah makanan yang
terbuat dari daging cincang yang dibentuk bundar lalu digoreng dalam minyak
panas, yang kemudian diapit oleh irisan roti dan sayur mayur. Ini makanan cepat
saji yang berasal dari Hamburg (kota di Jerman) yang kemudian dipopulerkan dan
lebih lekat sebagai sebuah nama restoran waralaba Mcdonald’s.
Maka sebutlah
misal, tempe asal-usulnya dari Indonesia dan hamburger dari luar Indonesia.
Atau misal, tempe adalah jati diri kita dan hamburger bukan jati diri kita. Asal-usul
selalu merujuk pada rentetan-rentetan. Bila demikian tempe yang kita makan hari
ini adalah asal-usul kita, maka ternyata justru salah. Kedelai sebagai bahan
utama tempe ternyata hanya 30% dipenuhi oleh pasar domestik. Sisanya yang 70%
itu dipenuhi oleh pasar luar negeri. Kedelainya tidak berasal dari tanah kita,
Indonesia. Secara kultural, tempe memang dekat dengan keseharian kita, akan
tetapi komoditas utama yang membangun tempe itu ada, ternyata mayoritas berasal
dari luar. Keadaan yang terbalik terjadi jika kita menilik daging sapi sebagai
bahan utama hamburger. Pemenuhan kebutuhan domestik akan daging sapi hanya
ditutupi 23% oleh pasar luar negeri.
Lalu, apakah
ini yang menyebabkan Bung karno melarang kita untuk menjadi bangsa tempe untuk
kemudian menjadi bangasa hamburger saja? Hehe
***
Disaat, tempe
menjadi mahal. Dan kedelai menjadi langka karena kita ternyata lebih
mengandalkan kedelai impor sebagai bahan utama tempe. Kita akhirnya mengerti
bahwa ternyata tempe ada di sekitar kita, pada wilayah terdekat dengan
keseharian kita. sesuatu yang masuk selalu dalam mulut dan perut kita. ia yang
menyatu dalam darah kita. Dan kita, melalui metafor, memakainya sebagai sesuatu
yang hina. Dan untuk itulah, kita ternyata telah menjadi bangsa inferior. Menggunakan
sesuatu yang melekat pada kita sebagai tanda kemunduran kita sendiri. Selamat !