Senin, 16 Desember 2013

REMEDIAL MATEMATIKA XI IPS 1 & 2


DAFTAR REMEDIAL MATEMATIKA KELAS XI IPS 1 & 2




NO NAMA

1 AFRYAN NAZLI R H         

2 ARI RIZKY                

3 DARA AYU SADIANTI RUKMANA

4 DESSY INTANSARI          

5 FLORENTINA PRATIWI       

6 LAYUTSA N A              

7 M ANGGA DIAN SAPUTRA     

8 SHELA RIZKITA DEWI       

9 YUNITA                   

10 ADE FENNY YULIANA        

11 ALDI ADHARI PINANGGI     






Martapura, 11 Desember 2013














Muhammad Arsyad, S.Pd

REMEDIAL MATEMATIKA XI IPA 1


DAFTAR REMEDIAL MATEMATIKA KELAS XI IPA 1




NO NAMA

1 ANJAR RAHMATILLAH        

2 HALIMAH                  

3 LISDA NORFITRIYANTI      

4 NIMAS LINTANG AYUNING P  

5 NURUL KAMILI             

6 RAHIMAH                  

7 RAHMAWATI                






Martapura, 11 Desember 2013










Muhammad Arsyad, S.Pd

REMEDIAL MATEMATIKA X SOS


DAFTAR REMEDIAL MATA PELAJARAN MATEMATIKA X SOS




NO NAMA NO NAMA
1 AJ PRIAFUDDIN             34 ABD HALIM                
2 ANGGUN MAHARANI           35 AISYFA INTISHARIDHA      
3 APRILINA PUTRI IMANNI     36 BINTANG IHZA MUJADDID    
4 DIAN LOVERIA DEVITASARI   37 DINAR PRASETIYO          
5 EDWIN THOMAS RAMADHANY    38 FARAH NIDA SARY          
6 ELLY YANTI                39 FRANGKI CAHYO ADI SAPUTRA
7 FARIS IMANI WIBOWO        40 HANI FITRIANI            
8 GITA INDRIANI             41 LIA RAHMI                
9 HUSNUL NORMAWATI          42 M MUJAHIDIN A B          
10 INTAN PRATIWI SUNDARI     43 MEILISA                  
11 KAMALIA AMATULLAH ADILA   44 MUHAMMAD YASIR           
12 MUHAMMAD AHDI             45 NINGRUM HARDIYANTI       
13 M DICKY SETIAWAN          46 NUR KHOLISOH             
14 MAWADDAH WARAHMAH         47 NUR RIZKA AMALIA         
15 MUHAMMAD AKBAR FEBRIAN    48 NURUL HAFIJAH            
16 MUHAMMAD ARIYADI          49 NURUS SIFA               
17 MUHAMMAD HUSIN AKBAR      50 RAKHMANIA RAMADANTI      
18 MUHAMMAD KHOIRY           51 RIZKY YULITA R           
19 M RAMA AULIA ASIKIN       52 YUDA MALAY SANDI         
20 MUHAMMAD RIZALDY          53 ZULFIKAR RIDWAN NAHDI    
21 MUHTASAR IHYA             54 AGRANATA OCTAFHA         
22 MUTHIA KHAIRUNNI *        55 AULIA NURHASANAH         
23 NADIA HARDINI PUTERI      56 AYU SRI REZEKI           
24 NADIA HUMAIDA             57 CHYNTIA NADILLA          
25 NIKEN ANGGRAENI           58 HAMZAH AL ASHAR          
26 NUR AYUNI FADHLIYATI      59 KHOLIDA ANNISA           
27 NURUL SOFA                60 MUHAMMAD ALFIANNOR       
28 OKTAMA PUTRADHILA ASR *IN 61 MAIDA HARIANTI           
29 RIYAN EKA WARDHANA        62 MUHAMMAD HAIKAL ZAIDAN   
30 RIZQIA RISNAWATI          63 MUHAMMAD HAIQAL ZIKR YA  
31 TIKA RAHYANI              64 MUHAMMAD RIFANI          
32 MUHAMMAD ZAKI MAULANA     65 RATU CINDYA MAHYUDIN     
33 WAWAN TRIATMOJO           66 RAUDATUL JANNAH          







Martapura, 11 Desember 2013















Muhammad Arsyad, S.Pd

Kamis, 11 April 2013

Sebagian Jokpin dalam Kepalaku


Pembacaan atas puisi Joko Pinurbo “Ranjang (10)”

Sebagai seorang pembaca puisi, saya termasuk orang yang meyakini bahwa penyair dan pembaca memiliki peluang yang sama akan kehadiran puisi. Puisi terlahir dari rahim kejujuran seorang penyair dalam keheningan, tanpa ada intervensi dari pembaca. Begitu pun demikian, pembaca memaknai puisi-puisi dengan tanpa intervensi.

Di titik tersebut, pembaca sejatinya memproduksi pemaknaannya sendiri atas kode-kode yang tersirat dibalik puisi. Kita para pembaca membaca tak harus ditunjuk di muka – bahwa karya ini maksudnya ini,karya yang itu, maksudnya itu. Puisi, setelah kelahirannya adalah dirinya sendiri. Ia menjelma menjadi objek yang terpisah dari ibunya, yakni penyair itu.

Puisi mengajak kita berbolak-balik berfantasi, mengecek realitas. Pikiran kita di pihak lain, akan mencari kosa kata2 yang dapat mewakili makna tersebut. Seringkali, usaha tersebut berhasil. Tak jarang pula, kita tersesat diantara tanda-tanda.

Beberapa puisi terlahir dalam tanda-tanda yang rumit, seringkali dalam rangkaian kata yang tidak saling mengkait, jika kita cari ia dalam pikiran sadar. Entah, apakah karena kosakata yang begitu rapat untuk membuka dirinya kepada kita, para pembaca. Atau, kita para pembaca yang perlu untuk memahami realitas, memahami mimpi, serta mencerap tanda-tanda yang berserakan itu, dari banyak buku-buku.
Sebuah puisi, terlahir dalam proses pendalaman perasaan dan pikiran. Sebuah proses yang melibatkn banyak kode literer dari buku-buku. Sebuah hasil dari keteguhan penyair memasuki dunia sunyinya.

Para pembaca, melalui sebuah puisi selalu dihadirkan tanya akan siapa ibu itu, siapa yang menemukannya, diantara makna-makna yang menumpuk, membusuk dalam pikiran kita. Setiap penyair secara tidak langsung meninggalkan kesannya masing-masing melalui proses kreatifnya.

Joko Pinurbo adalah salah satu penyair itu. Bisa dibilang, puisi Jokpin lebih bernuansa surealis. Bahasannya seringkali tak jauh dari celana, burung, ranjang, atau perempuan. Menurut Sapardi Djoko Damono, bila Jokpin (sapaan akrabnya) membacakan puisinya sendiri di tengah pentas. Tak jarang penonton akan tertawa karena bahasan-bahasan dalam puisinya. Ini menurut SDD, karena ketika puisi dilisankan mungkin sekali yang tertangkap oleh penonton adalah sekadar permainan makna atas suatu bahan lelucon (celana, burung).
Istilah-istilah tersebut begitu dekat dengan kehidupan kita. Di puisi Jokpin, Istilah-istilah seakan hidup dalam caranya. Ia hidup lantas mengajari kita manusia tentang beragama hal. Ini salah satu puisi jokpin yang coba saya baca secara berbeda.

Ranjang (10)
Pada suatu petang  ia datang ke taman
Yang terhampar hijau di atas ranjang
Ia mencopot baju, menyalakan lampu
Kemudian membaca buku di atas makam
“ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno disini,”
Kata seseorang dibalik nisan.
Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
Mengenakan kembali pakaian.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa adam
Dan menghabisinya di atas ranjang.
(1998)

Jika kita maknai dalam pengertian yang sebenarnya. Mungkin akan banyak orang yang terheran. Itu ngapain baca buku porno di makam. Namun, sebuah puisi yang terlahir mendapatkan pemaknaannya sendiri-sendiri. Ada beberapa istilah yang menarik untuk kita beri tanda tebal, misal : ranjang, makam, buku porno, telanjang, memperkosa. Dalam pemaknaan saya, ada banyak metafor yang dimainkan oleh Jokpin. Sebagai metafor, maka ia menjadi representasi dari makna.

Ranjang adalah sebuah tempat privat kita. Di ranjang, kita hadir dalam ketelanjangan kita sebagai manusia. Karena pada umumnya, di ranjang kita tidur, maka disana ranjang juga menjadi representasi batas antara kehidupan nyata dan mimpi, antara sadar dan bawah sadar.

Pada suatu petang  ia datang ke taman/Yang terhampar hijau di atas ranjang/. Pernahkah kita berjalan-jalan di taman yang hijau saat petang? Apa yang kalian rasakan? Suasana yang muncul dalam benak saya adalah sebuah perasaan nyaman. Petang, disana merepresentasikan masa depan, keinginan. Taman yang hijau turut menekankan kondisi tersebut. Di ujung kalimat, di atas ranjang, merepresentasikan bahwa kalimat-kalimat sebelumnya adalah mimpi. Freud dalam bukunya The Interpretion Of Dream menekankan bahwa mimpi adalah pemenuhan harapan. Melalui mimpi, ada kode-kode, gambar-gambar yang menjalin sedemikian cara hingga merepresentasikan harapan dalam bawah sadar kita. Dua bait pertama ini, menekankan gambaran dari harapan sosok tersebut.

Ia mencopot baju, menyalakan lampu/Kemudian membaca buku di atas makam/. Baju adalah representasi dari apa yang ada diluar kemanusiaan kita. Sesuatu yang terkadang menutupi identitas kemanusiaan kita, bahkan sesuatu yang terkadang menipu pandangan kita. Buku merepresentasikan usaha membuka pikiran. Makam menjadi representasi dari batas terjauh kemampuan imajinasi manusia akan waktu. Ia mencopot baju adalah usaha darinya untuk memisahkan diri dari sesuatu di luar tubuh manusianya. Sebuah usaha menemukan dirinya. Membaca buku adalah usahanya membaca realitas, mencerap segala tanda di semesta pemikiran. Di atas makam, artinya adalah usaha terjauhnya dalam apa yang ia lakukan.

“ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno disini,” /Kata seseorang dibalik nisan/. Namun, ia membaca buku porno. Porno menjadi sesuatu yang dilarang dalam lingkup sosial kita. Meski bersetubuh lumrah dilakukan oleh manusia. Siapapun, apapun status sosialnya. Ia tetap saja dianggap telah melanggar batas imajinasi terliar. Membaca buku porno menjadi representasi dari usaha imajinasinya melintasi batas social yang barangkali membatasinya. Sehingga ia dilarang. Meskipun, ia tidak menyakiti siapa-siapa.

Ia lari tunggang langgang sebelum sempat/Mengenakan kembali pakaian/. Tunggang langgang menandakan bahwa sosok pada puisi tersebut mengalami keterdesakan atas larangan yang diterimanya. Keterdesakan yang membuatnya tak mampu untuk menunjukkan kepatuhannya pada realitas. Ia tak sempat berpakaian. Disini menggambarkan kondisi yang berkebalikan dari anggapan orang kebanyakan. Bahwa keadaan dapat membuat segala hal terjadi, termasuk tak mampu menunjukkan kepatuhan pada aturan sosial yang berlaku.

Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa adam/Dan menghabisinya di atas ranjang/. Namun apa? Gila dalam hal ini adalah alam bawah sadar yang membuka dirinya pada realitas kesadaran. Alam bawah sadar menyimpan harapan-harapan yang terekam memori bersama waktu. Kenapa ia membuka dirinya ke alam sadar? Karena ia telah tertekan, ia dilarang untuk membuka dirinya terlalu jauh. Bahwa, ia juga tertekan karena mimpinya dirampas. Ada yang menarik, bahwa di akhir jokpin mengasih tahu kita bahwa sosok tersebut adalah seorang perempuan. Di tengah masyarakat patriarki, posisi perempuan masih tidak seimbang. Seringkali masih dianggap sebagai objek. Dengan memperkosa adam, merepresentasikan sebuah perlawanan atas dominasi. Perempuan disini adalah perempuan yang tangguh. Segala aturan-aturan sosial tentang ketelanjangan dan porno seakan mendapatkan anti klimaksnya di akhir puisi ini. Bahwa seberapa pun tabu untuk dibahas sebuah tema tentang kehakikian hidup. Pada kenyataannya, ia terjadi dan kita tunduk akannya, sebagai manusia.

Jokpin, mencoba bercerita tentang suatu hal. Namun, ia menyisipkan cerita itu dalam susunan kata yang rapat. Kalau sudah begini, dapatkah kita mentertawakan puisinya?[]






Senin, 18 Maret 2013

Perempuan di Titik Nol


Apa yang dapat kita nilai mengenai seorang pelacur tentang hidupnya? Kebanyakan dari kita mungkin akan memandang nyinyir. Tapi pernahkah kita mendengar suara dari seorang pelacur tentang hidupnya sendiri? Barangkali kita harus mengkoreksi penilaian kita yang nyinyir itu. Karena penilaian yang demikian mengekalkan sesuatu kuasa. Kuasa yang seringkali tidak kita sadari menjerat sebagian dari kita. Dan kita dibuat takut oleh kuasa tersebut. Ketakutan yang menggenang dalam benak kita hingga menimbulkan keseragaman atas suatu penilaian. Ketakutan yang tidak tersadari.
Melalui Firdaus, kita mendapatkan gambaran psikologis seorang perempuan tentang perjalanan hidupnya di tengah dominasi lelaki. Latar belakang Mesir, lingkungan Firdaus semasa hidupnya merupakan lingkungan yang patriarki. Lingkungan yang memandang bagaimana sikap dan langkah seorang perempuan mesti diatur dalam beragam cara dan penilaian. Kondisi tersebut dibangun dari pengaturan hal – hal kecil dalam rumah hingga bagaimana hukum negara memandang perempuan yang seharusnya.
Nawal el - Saadawi menggambarkan detail psikologis Firdaus melalui novel Perempuan di Titik Nol. Nawal sempat datang dan berbicara langsung dengan Firdaus di penjara setelah sebelumnya, Firdaus sangat sulit ditemui. Firdaus adalah seorang perempuan yang divonis hukuman mati karena membunuh seorang lelaki yang adalah germonya sendiri. Seorang dokter penjara pernah mengusulkan kepada Firdaus agar dirinya mengajukan permohonan grasi kepada presiden, ia menolaknya. Ia menerima hukuman tersebut dengan berani. Menurutnya, vonis tersebut merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Firdaus terlahir dari sebuah keluarga petani yang miskin. Ayahnya tidak bisa baca tulis. Ia memiliki banyak saudara meski satu persatu meninggal karena sakit. Di rumah, ayah mempunyai kuasa penuh. Seringkali ayah menyuruhnya pergi ke ladang. Di malam yang dingin dalam rumah sempit itu, ayahnya lah yang berbaring dekat tungku perapian. Sementara ia dan saudaranya di sudut rumah. Ibunya terkadang berada di samping ayah, untuk mendapatkan kehangatan. Sejak kecil, ia melihat ibunya membasuh kaki ayahnya. Untuk selanjutnya, ia pun melakukan hal demikian.
Ia lebih dekat dengan paman dibanding ayah. Pamannya adalah seorang terpelajar. Seorang yang mengecap pendidikan tinggi di kairo, El Azhar. Saat ayahnya meninggal, pamannya yang memasukkannya di sekolah dasar. Sejak ibunya meninggal, ia ikut pamannya tinggal di Kairo. Paman menikah dengan seorang wanita yang berpendidikan dan cukup terpandang. Kelas menengah memandang hubungan lelaki perempuan sedikit lebih lunak. Dan, karena paman secara ekonomi berada di bawah istri, maka dominasi suami menjadi kecil di dalam rumah. Di kairo, Firdaus sekolah di asrama, sekolah menengah.
Sewaktu lulus dari sekolah menengah. Saat itulah berbagai hal berubah. Paman dan bibinya bersepakat untuk tidak melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi karena biaya. Demikian, ia dinikahkan dengan seorang lelaki tua, Syekh Mahmoud. Meski kaya dan terpandang, lelaki itu pelit. Ketika makan, piring Firdaus dipelototi. Dagu suaminya bernanah, semacam bisul. Sehingga saat bercinta, sering ia memalingkan wajah karena tak tahan dengan bau dari bisul itu. Demikian, ia yang muda dan memiliki minat pada pendidikan menjalani hidup yang tidak dikehendakinya.
Suatu ketika ia dipukuli oleh suaminya dengan sepatu dan mengadu pada paman dan bibinya. Jawaban mereka datar seakan itu hal yang biasa-biasa saja. “Semua istri tak berhak mengeluh tentang suaminya. Kewajiban istri adalah kepatuhan yang sempurna.”, demikian pamannya berujar dan ia mesti kembali ke rumah.
Jalanan adalah tempat mengadu baginya. Suatu saat ia tidak tahan dengan perlakuan suaminya. Dengan wajah biru oleh pukulan, ia menangis di jalanan. Ia lari dari rumah dan bertemu seorang lelaki, Bayoumi, pemilik kedai kopi. Di rumah Bayoumi yang lelaki bujang itu, ia tinggal untuk sementara waktu. Berbekal ijazah sekolah menengah ia bermaksud mencari pekerjaan. Untuk sesaat, ia merasa nyaman diperlakukan Bayoumi. Waktu terus berjalan, ia tak kunjung mendapat kerja untuk kemudian hengkang dari rumah Bayoumi. “kedekatan” dirinya dengan Bayoumi berangsur berubah cara. Bayoumi tidak lagi lembut. Demikian, kembali lagi, ia mendapati kuasa lelaki yang penuh nafsu atas tubuhnya. Ia tak tahan dan lari, kembali ke jalanan.
Dirinya tertekan oleh keadaan. Untuk berbicara, ia melihat ke tanah. Ia dipertemukan dengan seorang wanita, Sharifa Salah El Dine. Jalannya tegak. Suatu cara jalan yang berbeda. Jalan yang penuh keyakinan diri. Apartemennya besar. ia tinggal disana, tamu lelaki sering datang ke apartemen tersebut, lelaki dari kelas atas. Di ranjang, ia mendapati beragam lelaki. Namun ia tidak mendapati “nikmat”, ia justru merasa nyeri. Tidak ada cinta. Saat itu, ia berangsur menyerupai Sharifa. Pandangannya lurus, jalannya tegak.
Atas suatu hal, ia dihadapkan pada sebuah fakta. Sharifa mendapatkan uang dari dirinya, hasil dari tidur dengan beragam lelaki. Merasa ditipu, ia kembali ke jalan namun dengan cara jalan yang berbeda. Ia berjalan tegak. Ia tinggal sendiri di apartemen dengan beragam tamu lelaki kelas atas.
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan teman lelakinya. Dari teman lelaki berpendidikan itu, ia berdiskusi tentang banyak hal. Dirinya memang memiliki minat pada kebudayaan sejak sekolah. Dengan suatu cara, suatu kata diucapkan lelaki tersebut membuatnya merasa teringat dan terpukul. Tentang status sosialnya. Bagaimanapun ia memiliki berlimpah materi, ia menjual dirinya. Itu menghantuinya. Ia merubah arah hidup. Ia tidak lagi tidur dengan lelaki. Ia bekerja di sebuah perusahaan. Hidupnya tidak lagi di apartemen, ia tinggal di kontrakan kecil.
Ia dibesarkan oleh keadaan yang luka terhadap lelaki. Tidak pernah ia merasakan cinta. Di kantor, ia bertemu lelaki. Ia melihat cara memandang seorang lelaki yang berbeda terhadapnya. Meski luka terhadap lelaki belum hilang sepenuhnya, ia mampu berkompromi. Ia menyerahkan dirinya sepenuhnya, di ranjang, dengan cara berbeda. Ia tidur dengan lelaki itu, tanpa nyeri.
Namun, tak berapa lama, keadaan berubah. Lelaki tersebut menikah dengan seorang putri direktur. Dirinya ditipu. Bayangan ayah, paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi kembali hadir. Ia kembali sakit hati terhadap lelaki. Berangsur, ia kembali tidur dengan beragam lelaki, kelas atas.
Sekarang ia benar – menutup diri untuk lelaki soal perasaan. Baginya, semua penderitaan adalah akibat lelaki. Ia menghargai dirinya dengan uang. Ia dikenal, bayarannya mahal.
Suatu ketika, germonya mengajaknya menikah. Ia tidak mau. Ia dipaksa, sebuah pisau di tangan germonya. Lukanya kepada lelaki terakumulasikan dalam suatu mekanisme pertahanan diri. Ia berhasil menghindar dan menghunuskan pisau tersebut ke leher germonya. Seketika, Ia begitu ringan mencabut pisau di leher germonya, menancapkan di dada, mencabutnya lagi, menancapkannya di perut.
Tidak terpikirkan, ia merasa kuat dalam balutan penuh kelembutan seorang perempuan. Oleh pengadilan, ia divonis hukuman mati. Meski begitu, ia menerima dengan keberanian. Baginya, para lelaki menghukum mati dirinya, karena merasa terancam.
***
Selalu ada refleksi ketika kita membaca karya sastra. Pikiran kita masuk ke dalam struktur karya, lalu kembali lagi ke kehidupan nyata, masuk lagi, kembali lagi. Entah berapa kali pikiran kita bolak balik mengulang pertanyaan, menelisik tanda-tanda diantara keduanya.
Sebagai lelaki dan (sebagai manusia tentunya), membaca karya ini adalah sebuah tamparan yang menyesakkan. Betapa kebenaran hadir melalui mekanisme perjalanan yang rumit dan berliku. barangkali, kebenaran tidak melulu hadir melalui mekanisme pembelaan diri. Barangkali, kebenaran juga hadir melalui dinding sempit penjara, dingin dan sunyi.
Firdaus seakan hadir di belakangku. Menyaksikanku menulis review ini. Seketika, aku merasa menjadi begitu pengecut.