Apa yang dapat kita nilai mengenai seorang pelacur tentang
hidupnya? Kebanyakan dari kita mungkin akan memandang nyinyir. Tapi pernahkah
kita mendengar suara dari seorang pelacur tentang hidupnya sendiri? Barangkali kita
harus mengkoreksi penilaian kita yang nyinyir itu. Karena penilaian yang
demikian mengekalkan sesuatu kuasa. Kuasa yang seringkali tidak kita sadari
menjerat sebagian dari kita. Dan kita dibuat takut oleh kuasa tersebut. Ketakutan
yang menggenang dalam benak kita hingga menimbulkan keseragaman atas suatu
penilaian. Ketakutan yang tidak tersadari.
Melalui Firdaus, kita mendapatkan gambaran psikologis
seorang perempuan tentang perjalanan hidupnya di tengah dominasi lelaki. Latar belakang
Mesir, lingkungan Firdaus semasa hidupnya merupakan lingkungan yang patriarki. Lingkungan
yang memandang bagaimana sikap dan langkah seorang perempuan mesti diatur dalam
beragam cara dan penilaian. Kondisi tersebut dibangun dari pengaturan hal – hal
kecil dalam rumah hingga bagaimana hukum negara memandang perempuan yang
seharusnya.
Nawal el - Saadawi menggambarkan detail psikologis Firdaus melalui
novel Perempuan di Titik Nol. Nawal sempat datang dan berbicara langsung dengan
Firdaus di penjara setelah sebelumnya, Firdaus sangat sulit ditemui. Firdaus adalah
seorang perempuan yang divonis hukuman mati karena membunuh seorang lelaki yang
adalah germonya sendiri. Seorang dokter penjara pernah mengusulkan kepada Firdaus
agar dirinya mengajukan permohonan grasi kepada presiden, ia menolaknya. Ia menerima
hukuman tersebut dengan berani. Menurutnya, vonis tersebut merupakan
satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Firdaus terlahir dari
sebuah keluarga petani yang miskin. Ayahnya tidak bisa baca tulis. Ia memiliki
banyak saudara meski satu persatu meninggal karena sakit. Di rumah, ayah
mempunyai kuasa penuh. Seringkali ayah menyuruhnya pergi ke ladang. Di malam
yang dingin dalam rumah sempit itu, ayahnya lah yang berbaring dekat tungku
perapian. Sementara ia dan saudaranya di sudut rumah. Ibunya terkadang berada
di samping ayah, untuk mendapatkan kehangatan. Sejak kecil, ia melihat ibunya
membasuh kaki ayahnya. Untuk selanjutnya, ia pun melakukan hal demikian.
Ia lebih dekat dengan
paman dibanding ayah. Pamannya adalah seorang terpelajar. Seorang yang mengecap
pendidikan tinggi di kairo, El Azhar. Saat ayahnya meninggal, pamannya yang
memasukkannya di sekolah dasar. Sejak ibunya meninggal, ia ikut pamannya
tinggal di Kairo. Paman menikah dengan seorang wanita yang berpendidikan dan
cukup terpandang. Kelas menengah memandang hubungan lelaki perempuan sedikit
lebih lunak. Dan, karena paman secara ekonomi berada di bawah istri, maka
dominasi suami menjadi kecil di dalam rumah. Di kairo, Firdaus sekolah di
asrama, sekolah menengah.
Sewaktu lulus dari
sekolah menengah. Saat itulah berbagai hal berubah. Paman dan bibinya
bersepakat untuk tidak melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi karena
biaya. Demikian, ia dinikahkan dengan seorang lelaki tua, Syekh Mahmoud. Meski
kaya dan terpandang, lelaki itu pelit. Ketika makan, piring Firdaus dipelototi.
Dagu suaminya bernanah, semacam bisul. Sehingga saat bercinta, sering ia
memalingkan wajah karena tak tahan dengan bau dari bisul itu. Demikian, ia yang
muda dan memiliki minat pada pendidikan menjalani hidup yang tidak
dikehendakinya.
Suatu ketika ia
dipukuli oleh suaminya dengan sepatu dan mengadu pada paman dan bibinya. Jawaban
mereka datar seakan itu hal yang biasa-biasa saja. “Semua istri tak berhak
mengeluh tentang suaminya. Kewajiban istri adalah kepatuhan yang sempurna.”,
demikian pamannya berujar dan ia mesti kembali ke rumah.
Jalanan adalah tempat
mengadu baginya. Suatu saat ia tidak tahan dengan perlakuan suaminya. Dengan wajah
biru oleh pukulan, ia menangis di jalanan. Ia lari dari rumah dan bertemu seorang
lelaki, Bayoumi, pemilik kedai kopi. Di rumah Bayoumi yang lelaki bujang itu,
ia tinggal untuk sementara waktu. Berbekal ijazah sekolah menengah ia bermaksud
mencari pekerjaan. Untuk sesaat, ia merasa nyaman diperlakukan Bayoumi. Waktu terus
berjalan, ia tak kunjung mendapat kerja untuk kemudian hengkang dari rumah Bayoumi.
“kedekatan” dirinya dengan Bayoumi berangsur berubah cara. Bayoumi tidak lagi
lembut. Demikian, kembali lagi, ia mendapati kuasa lelaki yang penuh nafsu atas
tubuhnya. Ia tak tahan dan lari, kembali ke jalanan.
Dirinya tertekan oleh
keadaan. Untuk berbicara, ia melihat ke tanah. Ia dipertemukan dengan seorang
wanita, Sharifa Salah El Dine. Jalannya tegak. Suatu cara jalan yang berbeda. Jalan
yang penuh keyakinan diri. Apartemennya besar. ia tinggal disana, tamu lelaki
sering datang ke apartemen tersebut, lelaki dari kelas atas. Di ranjang, ia
mendapati beragam lelaki. Namun ia tidak mendapati “nikmat”, ia justru merasa
nyeri. Tidak ada cinta. Saat itu, ia berangsur menyerupai Sharifa. Pandangannya
lurus, jalannya tegak.
Atas suatu hal, ia
dihadapkan pada sebuah fakta. Sharifa mendapatkan uang dari dirinya, hasil dari
tidur dengan beragam lelaki. Merasa ditipu, ia kembali ke jalan namun dengan
cara jalan yang berbeda. Ia berjalan tegak. Ia tinggal sendiri di apartemen
dengan beragam tamu lelaki kelas atas.
Hingga suatu hari, ia
bertemu dengan teman lelakinya. Dari teman lelaki berpendidikan itu, ia
berdiskusi tentang banyak hal. Dirinya memang memiliki minat pada kebudayaan
sejak sekolah. Dengan suatu cara, suatu kata diucapkan lelaki tersebut
membuatnya merasa teringat dan terpukul. Tentang status sosialnya. Bagaimanapun
ia memiliki berlimpah materi, ia menjual dirinya. Itu menghantuinya. Ia merubah
arah hidup. Ia tidak lagi tidur dengan lelaki. Ia bekerja di sebuah perusahaan.
Hidupnya tidak lagi di apartemen, ia tinggal di kontrakan kecil.
Ia dibesarkan oleh
keadaan yang luka terhadap lelaki. Tidak pernah ia merasakan cinta. Di kantor,
ia bertemu lelaki. Ia melihat cara memandang seorang lelaki yang berbeda terhadapnya.
Meski luka terhadap lelaki belum hilang sepenuhnya, ia mampu berkompromi. Ia menyerahkan
dirinya sepenuhnya, di ranjang, dengan cara berbeda. Ia tidur dengan lelaki
itu, tanpa nyeri.
Namun, tak berapa
lama, keadaan berubah. Lelaki tersebut menikah dengan seorang putri direktur. Dirinya
ditipu. Bayangan ayah, paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi kembali hadir. Ia kembali
sakit hati terhadap lelaki. Berangsur, ia kembali tidur dengan beragam lelaki,
kelas atas.
Sekarang ia benar –
menutup diri untuk lelaki soal perasaan. Baginya, semua penderitaan adalah
akibat lelaki. Ia menghargai dirinya dengan uang. Ia dikenal, bayarannya mahal.
Suatu ketika, germonya
mengajaknya menikah. Ia tidak mau. Ia dipaksa, sebuah pisau di tangan germonya.
Lukanya kepada lelaki terakumulasikan dalam suatu mekanisme pertahanan diri. Ia
berhasil menghindar dan menghunuskan pisau tersebut ke leher germonya. Seketika,
Ia begitu ringan mencabut pisau di leher germonya, menancapkan di dada,
mencabutnya lagi, menancapkannya di perut.
Tidak terpikirkan, ia
merasa kuat dalam balutan penuh kelembutan seorang perempuan. Oleh pengadilan,
ia divonis hukuman mati. Meski begitu, ia menerima dengan keberanian. Baginya,
para lelaki menghukum mati dirinya, karena merasa terancam.
***
Selalu ada refleksi ketika kita membaca karya sastra. Pikiran
kita masuk ke dalam struktur karya, lalu kembali lagi ke kehidupan nyata, masuk
lagi, kembali lagi. Entah berapa kali pikiran kita bolak balik mengulang
pertanyaan, menelisik tanda-tanda diantara keduanya.
Sebagai lelaki dan (sebagai manusia tentunya), membaca karya
ini adalah sebuah tamparan yang menyesakkan. Betapa kebenaran hadir melalui
mekanisme perjalanan yang rumit dan berliku. barangkali, kebenaran tidak melulu
hadir melalui mekanisme pembelaan diri. Barangkali, kebenaran juga hadir
melalui dinding sempit penjara, dingin dan sunyi.
Firdaus seakan hadir di belakangku. Menyaksikanku menulis
review ini. Seketika, aku merasa menjadi begitu pengecut.