Senin, 18 Maret 2013

Perempuan di Titik Nol


Apa yang dapat kita nilai mengenai seorang pelacur tentang hidupnya? Kebanyakan dari kita mungkin akan memandang nyinyir. Tapi pernahkah kita mendengar suara dari seorang pelacur tentang hidupnya sendiri? Barangkali kita harus mengkoreksi penilaian kita yang nyinyir itu. Karena penilaian yang demikian mengekalkan sesuatu kuasa. Kuasa yang seringkali tidak kita sadari menjerat sebagian dari kita. Dan kita dibuat takut oleh kuasa tersebut. Ketakutan yang menggenang dalam benak kita hingga menimbulkan keseragaman atas suatu penilaian. Ketakutan yang tidak tersadari.
Melalui Firdaus, kita mendapatkan gambaran psikologis seorang perempuan tentang perjalanan hidupnya di tengah dominasi lelaki. Latar belakang Mesir, lingkungan Firdaus semasa hidupnya merupakan lingkungan yang patriarki. Lingkungan yang memandang bagaimana sikap dan langkah seorang perempuan mesti diatur dalam beragam cara dan penilaian. Kondisi tersebut dibangun dari pengaturan hal – hal kecil dalam rumah hingga bagaimana hukum negara memandang perempuan yang seharusnya.
Nawal el - Saadawi menggambarkan detail psikologis Firdaus melalui novel Perempuan di Titik Nol. Nawal sempat datang dan berbicara langsung dengan Firdaus di penjara setelah sebelumnya, Firdaus sangat sulit ditemui. Firdaus adalah seorang perempuan yang divonis hukuman mati karena membunuh seorang lelaki yang adalah germonya sendiri. Seorang dokter penjara pernah mengusulkan kepada Firdaus agar dirinya mengajukan permohonan grasi kepada presiden, ia menolaknya. Ia menerima hukuman tersebut dengan berani. Menurutnya, vonis tersebut merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.
Firdaus terlahir dari sebuah keluarga petani yang miskin. Ayahnya tidak bisa baca tulis. Ia memiliki banyak saudara meski satu persatu meninggal karena sakit. Di rumah, ayah mempunyai kuasa penuh. Seringkali ayah menyuruhnya pergi ke ladang. Di malam yang dingin dalam rumah sempit itu, ayahnya lah yang berbaring dekat tungku perapian. Sementara ia dan saudaranya di sudut rumah. Ibunya terkadang berada di samping ayah, untuk mendapatkan kehangatan. Sejak kecil, ia melihat ibunya membasuh kaki ayahnya. Untuk selanjutnya, ia pun melakukan hal demikian.
Ia lebih dekat dengan paman dibanding ayah. Pamannya adalah seorang terpelajar. Seorang yang mengecap pendidikan tinggi di kairo, El Azhar. Saat ayahnya meninggal, pamannya yang memasukkannya di sekolah dasar. Sejak ibunya meninggal, ia ikut pamannya tinggal di Kairo. Paman menikah dengan seorang wanita yang berpendidikan dan cukup terpandang. Kelas menengah memandang hubungan lelaki perempuan sedikit lebih lunak. Dan, karena paman secara ekonomi berada di bawah istri, maka dominasi suami menjadi kecil di dalam rumah. Di kairo, Firdaus sekolah di asrama, sekolah menengah.
Sewaktu lulus dari sekolah menengah. Saat itulah berbagai hal berubah. Paman dan bibinya bersepakat untuk tidak melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi karena biaya. Demikian, ia dinikahkan dengan seorang lelaki tua, Syekh Mahmoud. Meski kaya dan terpandang, lelaki itu pelit. Ketika makan, piring Firdaus dipelototi. Dagu suaminya bernanah, semacam bisul. Sehingga saat bercinta, sering ia memalingkan wajah karena tak tahan dengan bau dari bisul itu. Demikian, ia yang muda dan memiliki minat pada pendidikan menjalani hidup yang tidak dikehendakinya.
Suatu ketika ia dipukuli oleh suaminya dengan sepatu dan mengadu pada paman dan bibinya. Jawaban mereka datar seakan itu hal yang biasa-biasa saja. “Semua istri tak berhak mengeluh tentang suaminya. Kewajiban istri adalah kepatuhan yang sempurna.”, demikian pamannya berujar dan ia mesti kembali ke rumah.
Jalanan adalah tempat mengadu baginya. Suatu saat ia tidak tahan dengan perlakuan suaminya. Dengan wajah biru oleh pukulan, ia menangis di jalanan. Ia lari dari rumah dan bertemu seorang lelaki, Bayoumi, pemilik kedai kopi. Di rumah Bayoumi yang lelaki bujang itu, ia tinggal untuk sementara waktu. Berbekal ijazah sekolah menengah ia bermaksud mencari pekerjaan. Untuk sesaat, ia merasa nyaman diperlakukan Bayoumi. Waktu terus berjalan, ia tak kunjung mendapat kerja untuk kemudian hengkang dari rumah Bayoumi. “kedekatan” dirinya dengan Bayoumi berangsur berubah cara. Bayoumi tidak lagi lembut. Demikian, kembali lagi, ia mendapati kuasa lelaki yang penuh nafsu atas tubuhnya. Ia tak tahan dan lari, kembali ke jalanan.
Dirinya tertekan oleh keadaan. Untuk berbicara, ia melihat ke tanah. Ia dipertemukan dengan seorang wanita, Sharifa Salah El Dine. Jalannya tegak. Suatu cara jalan yang berbeda. Jalan yang penuh keyakinan diri. Apartemennya besar. ia tinggal disana, tamu lelaki sering datang ke apartemen tersebut, lelaki dari kelas atas. Di ranjang, ia mendapati beragam lelaki. Namun ia tidak mendapati “nikmat”, ia justru merasa nyeri. Tidak ada cinta. Saat itu, ia berangsur menyerupai Sharifa. Pandangannya lurus, jalannya tegak.
Atas suatu hal, ia dihadapkan pada sebuah fakta. Sharifa mendapatkan uang dari dirinya, hasil dari tidur dengan beragam lelaki. Merasa ditipu, ia kembali ke jalan namun dengan cara jalan yang berbeda. Ia berjalan tegak. Ia tinggal sendiri di apartemen dengan beragam tamu lelaki kelas atas.
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan teman lelakinya. Dari teman lelaki berpendidikan itu, ia berdiskusi tentang banyak hal. Dirinya memang memiliki minat pada kebudayaan sejak sekolah. Dengan suatu cara, suatu kata diucapkan lelaki tersebut membuatnya merasa teringat dan terpukul. Tentang status sosialnya. Bagaimanapun ia memiliki berlimpah materi, ia menjual dirinya. Itu menghantuinya. Ia merubah arah hidup. Ia tidak lagi tidur dengan lelaki. Ia bekerja di sebuah perusahaan. Hidupnya tidak lagi di apartemen, ia tinggal di kontrakan kecil.
Ia dibesarkan oleh keadaan yang luka terhadap lelaki. Tidak pernah ia merasakan cinta. Di kantor, ia bertemu lelaki. Ia melihat cara memandang seorang lelaki yang berbeda terhadapnya. Meski luka terhadap lelaki belum hilang sepenuhnya, ia mampu berkompromi. Ia menyerahkan dirinya sepenuhnya, di ranjang, dengan cara berbeda. Ia tidur dengan lelaki itu, tanpa nyeri.
Namun, tak berapa lama, keadaan berubah. Lelaki tersebut menikah dengan seorang putri direktur. Dirinya ditipu. Bayangan ayah, paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi kembali hadir. Ia kembali sakit hati terhadap lelaki. Berangsur, ia kembali tidur dengan beragam lelaki, kelas atas.
Sekarang ia benar – menutup diri untuk lelaki soal perasaan. Baginya, semua penderitaan adalah akibat lelaki. Ia menghargai dirinya dengan uang. Ia dikenal, bayarannya mahal.
Suatu ketika, germonya mengajaknya menikah. Ia tidak mau. Ia dipaksa, sebuah pisau di tangan germonya. Lukanya kepada lelaki terakumulasikan dalam suatu mekanisme pertahanan diri. Ia berhasil menghindar dan menghunuskan pisau tersebut ke leher germonya. Seketika, Ia begitu ringan mencabut pisau di leher germonya, menancapkan di dada, mencabutnya lagi, menancapkannya di perut.
Tidak terpikirkan, ia merasa kuat dalam balutan penuh kelembutan seorang perempuan. Oleh pengadilan, ia divonis hukuman mati. Meski begitu, ia menerima dengan keberanian. Baginya, para lelaki menghukum mati dirinya, karena merasa terancam.
***
Selalu ada refleksi ketika kita membaca karya sastra. Pikiran kita masuk ke dalam struktur karya, lalu kembali lagi ke kehidupan nyata, masuk lagi, kembali lagi. Entah berapa kali pikiran kita bolak balik mengulang pertanyaan, menelisik tanda-tanda diantara keduanya.
Sebagai lelaki dan (sebagai manusia tentunya), membaca karya ini adalah sebuah tamparan yang menyesakkan. Betapa kebenaran hadir melalui mekanisme perjalanan yang rumit dan berliku. barangkali, kebenaran tidak melulu hadir melalui mekanisme pembelaan diri. Barangkali, kebenaran juga hadir melalui dinding sempit penjara, dingin dan sunyi.
Firdaus seakan hadir di belakangku. Menyaksikanku menulis review ini. Seketika, aku merasa menjadi begitu pengecut.