Kamis, 11 April 2013

Sebagian Jokpin dalam Kepalaku


Pembacaan atas puisi Joko Pinurbo “Ranjang (10)”

Sebagai seorang pembaca puisi, saya termasuk orang yang meyakini bahwa penyair dan pembaca memiliki peluang yang sama akan kehadiran puisi. Puisi terlahir dari rahim kejujuran seorang penyair dalam keheningan, tanpa ada intervensi dari pembaca. Begitu pun demikian, pembaca memaknai puisi-puisi dengan tanpa intervensi.

Di titik tersebut, pembaca sejatinya memproduksi pemaknaannya sendiri atas kode-kode yang tersirat dibalik puisi. Kita para pembaca membaca tak harus ditunjuk di muka – bahwa karya ini maksudnya ini,karya yang itu, maksudnya itu. Puisi, setelah kelahirannya adalah dirinya sendiri. Ia menjelma menjadi objek yang terpisah dari ibunya, yakni penyair itu.

Puisi mengajak kita berbolak-balik berfantasi, mengecek realitas. Pikiran kita di pihak lain, akan mencari kosa kata2 yang dapat mewakili makna tersebut. Seringkali, usaha tersebut berhasil. Tak jarang pula, kita tersesat diantara tanda-tanda.

Beberapa puisi terlahir dalam tanda-tanda yang rumit, seringkali dalam rangkaian kata yang tidak saling mengkait, jika kita cari ia dalam pikiran sadar. Entah, apakah karena kosakata yang begitu rapat untuk membuka dirinya kepada kita, para pembaca. Atau, kita para pembaca yang perlu untuk memahami realitas, memahami mimpi, serta mencerap tanda-tanda yang berserakan itu, dari banyak buku-buku.
Sebuah puisi, terlahir dalam proses pendalaman perasaan dan pikiran. Sebuah proses yang melibatkn banyak kode literer dari buku-buku. Sebuah hasil dari keteguhan penyair memasuki dunia sunyinya.

Para pembaca, melalui sebuah puisi selalu dihadirkan tanya akan siapa ibu itu, siapa yang menemukannya, diantara makna-makna yang menumpuk, membusuk dalam pikiran kita. Setiap penyair secara tidak langsung meninggalkan kesannya masing-masing melalui proses kreatifnya.

Joko Pinurbo adalah salah satu penyair itu. Bisa dibilang, puisi Jokpin lebih bernuansa surealis. Bahasannya seringkali tak jauh dari celana, burung, ranjang, atau perempuan. Menurut Sapardi Djoko Damono, bila Jokpin (sapaan akrabnya) membacakan puisinya sendiri di tengah pentas. Tak jarang penonton akan tertawa karena bahasan-bahasan dalam puisinya. Ini menurut SDD, karena ketika puisi dilisankan mungkin sekali yang tertangkap oleh penonton adalah sekadar permainan makna atas suatu bahan lelucon (celana, burung).
Istilah-istilah tersebut begitu dekat dengan kehidupan kita. Di puisi Jokpin, Istilah-istilah seakan hidup dalam caranya. Ia hidup lantas mengajari kita manusia tentang beragama hal. Ini salah satu puisi jokpin yang coba saya baca secara berbeda.

Ranjang (10)
Pada suatu petang  ia datang ke taman
Yang terhampar hijau di atas ranjang
Ia mencopot baju, menyalakan lampu
Kemudian membaca buku di atas makam
“ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno disini,”
Kata seseorang dibalik nisan.
Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
Mengenakan kembali pakaian.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa adam
Dan menghabisinya di atas ranjang.
(1998)

Jika kita maknai dalam pengertian yang sebenarnya. Mungkin akan banyak orang yang terheran. Itu ngapain baca buku porno di makam. Namun, sebuah puisi yang terlahir mendapatkan pemaknaannya sendiri-sendiri. Ada beberapa istilah yang menarik untuk kita beri tanda tebal, misal : ranjang, makam, buku porno, telanjang, memperkosa. Dalam pemaknaan saya, ada banyak metafor yang dimainkan oleh Jokpin. Sebagai metafor, maka ia menjadi representasi dari makna.

Ranjang adalah sebuah tempat privat kita. Di ranjang, kita hadir dalam ketelanjangan kita sebagai manusia. Karena pada umumnya, di ranjang kita tidur, maka disana ranjang juga menjadi representasi batas antara kehidupan nyata dan mimpi, antara sadar dan bawah sadar.

Pada suatu petang  ia datang ke taman/Yang terhampar hijau di atas ranjang/. Pernahkah kita berjalan-jalan di taman yang hijau saat petang? Apa yang kalian rasakan? Suasana yang muncul dalam benak saya adalah sebuah perasaan nyaman. Petang, disana merepresentasikan masa depan, keinginan. Taman yang hijau turut menekankan kondisi tersebut. Di ujung kalimat, di atas ranjang, merepresentasikan bahwa kalimat-kalimat sebelumnya adalah mimpi. Freud dalam bukunya The Interpretion Of Dream menekankan bahwa mimpi adalah pemenuhan harapan. Melalui mimpi, ada kode-kode, gambar-gambar yang menjalin sedemikian cara hingga merepresentasikan harapan dalam bawah sadar kita. Dua bait pertama ini, menekankan gambaran dari harapan sosok tersebut.

Ia mencopot baju, menyalakan lampu/Kemudian membaca buku di atas makam/. Baju adalah representasi dari apa yang ada diluar kemanusiaan kita. Sesuatu yang terkadang menutupi identitas kemanusiaan kita, bahkan sesuatu yang terkadang menipu pandangan kita. Buku merepresentasikan usaha membuka pikiran. Makam menjadi representasi dari batas terjauh kemampuan imajinasi manusia akan waktu. Ia mencopot baju adalah usaha darinya untuk memisahkan diri dari sesuatu di luar tubuh manusianya. Sebuah usaha menemukan dirinya. Membaca buku adalah usahanya membaca realitas, mencerap segala tanda di semesta pemikiran. Di atas makam, artinya adalah usaha terjauhnya dalam apa yang ia lakukan.

“ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno disini,” /Kata seseorang dibalik nisan/. Namun, ia membaca buku porno. Porno menjadi sesuatu yang dilarang dalam lingkup sosial kita. Meski bersetubuh lumrah dilakukan oleh manusia. Siapapun, apapun status sosialnya. Ia tetap saja dianggap telah melanggar batas imajinasi terliar. Membaca buku porno menjadi representasi dari usaha imajinasinya melintasi batas social yang barangkali membatasinya. Sehingga ia dilarang. Meskipun, ia tidak menyakiti siapa-siapa.

Ia lari tunggang langgang sebelum sempat/Mengenakan kembali pakaian/. Tunggang langgang menandakan bahwa sosok pada puisi tersebut mengalami keterdesakan atas larangan yang diterimanya. Keterdesakan yang membuatnya tak mampu untuk menunjukkan kepatuhannya pada realitas. Ia tak sempat berpakaian. Disini menggambarkan kondisi yang berkebalikan dari anggapan orang kebanyakan. Bahwa keadaan dapat membuat segala hal terjadi, termasuk tak mampu menunjukkan kepatuhan pada aturan sosial yang berlaku.

Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa adam/Dan menghabisinya di atas ranjang/. Namun apa? Gila dalam hal ini adalah alam bawah sadar yang membuka dirinya pada realitas kesadaran. Alam bawah sadar menyimpan harapan-harapan yang terekam memori bersama waktu. Kenapa ia membuka dirinya ke alam sadar? Karena ia telah tertekan, ia dilarang untuk membuka dirinya terlalu jauh. Bahwa, ia juga tertekan karena mimpinya dirampas. Ada yang menarik, bahwa di akhir jokpin mengasih tahu kita bahwa sosok tersebut adalah seorang perempuan. Di tengah masyarakat patriarki, posisi perempuan masih tidak seimbang. Seringkali masih dianggap sebagai objek. Dengan memperkosa adam, merepresentasikan sebuah perlawanan atas dominasi. Perempuan disini adalah perempuan yang tangguh. Segala aturan-aturan sosial tentang ketelanjangan dan porno seakan mendapatkan anti klimaksnya di akhir puisi ini. Bahwa seberapa pun tabu untuk dibahas sebuah tema tentang kehakikian hidup. Pada kenyataannya, ia terjadi dan kita tunduk akannya, sebagai manusia.

Jokpin, mencoba bercerita tentang suatu hal. Namun, ia menyisipkan cerita itu dalam susunan kata yang rapat. Kalau sudah begini, dapatkah kita mentertawakan puisinya?[]