Pembacaan atas puisi Joko
Pinurbo “Ranjang (10)”
Sebagai seorang pembaca puisi,
saya termasuk orang yang meyakini bahwa penyair dan pembaca memiliki peluang
yang sama akan kehadiran puisi. Puisi terlahir dari rahim kejujuran seorang penyair
dalam keheningan, tanpa ada intervensi dari pembaca. Begitu pun demikian,
pembaca memaknai puisi-puisi dengan tanpa intervensi.
Di titik tersebut, pembaca
sejatinya memproduksi pemaknaannya sendiri atas kode-kode yang tersirat dibalik
puisi. Kita para pembaca membaca tak harus ditunjuk di muka – bahwa karya ini
maksudnya ini,karya yang itu, maksudnya itu. Puisi, setelah kelahirannya adalah
dirinya sendiri. Ia menjelma menjadi objek yang terpisah dari ibunya, yakni penyair
itu.
Puisi mengajak kita
berbolak-balik berfantasi, mengecek realitas. Pikiran kita di pihak lain, akan
mencari kosa kata2 yang dapat mewakili makna tersebut. Seringkali, usaha tersebut
berhasil. Tak jarang pula, kita tersesat diantara tanda-tanda.
Beberapa puisi terlahir dalam
tanda-tanda yang rumit, seringkali dalam rangkaian kata yang tidak saling
mengkait, jika kita cari ia dalam pikiran sadar. Entah, apakah karena kosakata
yang begitu rapat untuk membuka dirinya kepada kita, para pembaca. Atau, kita
para pembaca yang perlu untuk memahami realitas, memahami mimpi, serta mencerap
tanda-tanda yang berserakan itu, dari banyak buku-buku.
Sebuah puisi, terlahir dalam
proses pendalaman perasaan dan pikiran. Sebuah proses yang melibatkn banyak
kode literer dari buku-buku. Sebuah hasil dari keteguhan penyair memasuki dunia
sunyinya.
Para pembaca, melalui sebuah
puisi selalu dihadirkan tanya akan siapa ibu itu, siapa yang menemukannya,
diantara makna-makna yang menumpuk, membusuk dalam pikiran kita. Setiap penyair
secara tidak langsung meninggalkan kesannya masing-masing melalui proses
kreatifnya.
Joko Pinurbo adalah salah satu
penyair itu. Bisa dibilang, puisi Jokpin lebih bernuansa surealis. Bahasannya seringkali
tak jauh dari celana, burung, ranjang, atau perempuan. Menurut Sapardi Djoko
Damono, bila Jokpin (sapaan akrabnya) membacakan puisinya sendiri di tengah
pentas. Tak jarang penonton akan tertawa karena bahasan-bahasan dalam puisinya.
Ini menurut SDD, karena ketika puisi dilisankan mungkin sekali yang tertangkap
oleh penonton adalah sekadar permainan makna atas suatu bahan lelucon (celana,
burung).
Istilah-istilah tersebut begitu
dekat dengan kehidupan kita. Di puisi Jokpin, Istilah-istilah seakan hidup
dalam caranya. Ia hidup lantas mengajari kita manusia tentang beragama hal. Ini
salah satu puisi jokpin yang coba saya baca secara berbeda.
Ranjang (10)
Pada suatu petang ia datang ke taman
Yang terhampar hijau di atas
ranjang
Ia mencopot baju, menyalakan
lampu
Kemudian membaca buku di atas
makam
“ini tempat suci. Dilarang membaca
buku porno disini,”
Kata seseorang dibalik nisan.
Ia lari tunggang langgang
sebelum sempat
Mengenakan kembali pakaian.
Ia perempuan gila, dulu pernah
memperkosa adam
Dan menghabisinya di atas
ranjang.
(1998)
Jika kita maknai dalam
pengertian yang sebenarnya. Mungkin akan banyak orang yang terheran. Itu ngapain
baca buku porno di makam. Namun, sebuah puisi yang terlahir mendapatkan pemaknaannya
sendiri-sendiri. Ada beberapa istilah yang menarik untuk kita beri tanda tebal,
misal : ranjang, makam, buku porno, telanjang, memperkosa. Dalam pemaknaan
saya, ada banyak metafor yang dimainkan oleh Jokpin. Sebagai metafor, maka ia
menjadi representasi dari makna.
Ranjang adalah sebuah tempat
privat kita. Di ranjang, kita hadir dalam ketelanjangan kita sebagai manusia. Karena
pada umumnya, di ranjang kita tidur, maka disana ranjang juga menjadi
representasi batas antara kehidupan nyata dan mimpi, antara sadar dan bawah
sadar.
Pada suatu petang ia datang ke
taman/Yang terhampar hijau di atas ranjang/. Pernahkah kita berjalan-jalan
di taman yang hijau saat petang? Apa yang kalian rasakan? Suasana yang muncul
dalam benak saya adalah sebuah perasaan nyaman. Petang, disana merepresentasikan
masa depan, keinginan. Taman yang hijau turut menekankan kondisi tersebut. Di ujung
kalimat, di atas ranjang, merepresentasikan bahwa kalimat-kalimat sebelumnya
adalah mimpi. Freud dalam bukunya The
Interpretion Of Dream menekankan bahwa mimpi adalah pemenuhan harapan. Melalui
mimpi, ada kode-kode, gambar-gambar yang menjalin sedemikian cara hingga
merepresentasikan harapan dalam bawah sadar kita. Dua bait pertama ini,
menekankan gambaran dari harapan sosok tersebut.
Ia mencopot baju, menyalakan lampu/Kemudian membaca buku di atas makam/.
Baju adalah representasi dari apa yang ada diluar kemanusiaan kita. Sesuatu yang
terkadang menutupi identitas kemanusiaan kita, bahkan sesuatu yang terkadang
menipu pandangan kita. Buku merepresentasikan usaha membuka pikiran. Makam menjadi
representasi dari batas terjauh kemampuan imajinasi manusia akan waktu. Ia mencopot
baju adalah usaha darinya untuk memisahkan diri dari sesuatu di luar tubuh manusianya.
Sebuah usaha menemukan dirinya. Membaca buku adalah usahanya membaca realitas,
mencerap segala tanda di semesta pemikiran. Di atas makam, artinya adalah usaha
terjauhnya dalam apa yang ia lakukan.
“ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno disini,” /Kata seseorang
dibalik nisan/. Namun, ia membaca buku porno. Porno menjadi sesuatu yang
dilarang dalam lingkup sosial kita. Meski bersetubuh lumrah dilakukan oleh
manusia. Siapapun, apapun status sosialnya. Ia tetap saja dianggap telah
melanggar batas imajinasi terliar. Membaca buku porno menjadi representasi dari
usaha imajinasinya melintasi batas social yang barangkali membatasinya. Sehingga
ia dilarang. Meskipun, ia tidak menyakiti siapa-siapa.
Ia lari tunggang langgang sebelum sempat/Mengenakan kembali pakaian/.
Tunggang langgang menandakan bahwa sosok pada puisi tersebut mengalami
keterdesakan atas larangan yang diterimanya. Keterdesakan yang membuatnya tak
mampu untuk menunjukkan kepatuhannya pada realitas. Ia tak sempat berpakaian. Disini
menggambarkan kondisi yang berkebalikan dari anggapan orang kebanyakan. Bahwa keadaan
dapat membuat segala hal terjadi, termasuk tak mampu menunjukkan kepatuhan pada
aturan sosial yang berlaku.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa adam/Dan menghabisinya di
atas ranjang/. Namun apa? Gila dalam hal ini adalah alam bawah sadar yang
membuka dirinya pada realitas kesadaran. Alam bawah sadar menyimpan
harapan-harapan yang terekam memori bersama waktu. Kenapa ia membuka dirinya ke
alam sadar? Karena ia telah tertekan, ia dilarang untuk membuka dirinya terlalu
jauh. Bahwa, ia juga tertekan karena mimpinya dirampas. Ada yang menarik, bahwa
di akhir jokpin mengasih tahu kita bahwa sosok tersebut adalah seorang
perempuan. Di tengah masyarakat patriarki, posisi perempuan masih tidak
seimbang. Seringkali masih dianggap sebagai objek. Dengan memperkosa adam,
merepresentasikan sebuah perlawanan atas dominasi. Perempuan disini adalah
perempuan yang tangguh. Segala aturan-aturan sosial tentang ketelanjangan dan
porno seakan mendapatkan anti klimaksnya di akhir puisi ini. Bahwa seberapa pun
tabu untuk dibahas sebuah tema tentang kehakikian hidup. Pada kenyataannya, ia
terjadi dan kita tunduk akannya, sebagai manusia.
Jokpin, mencoba bercerita
tentang suatu hal. Namun, ia menyisipkan cerita itu dalam susunan kata yang
rapat. Kalau sudah begini, dapatkah kita mentertawakan puisinya?[]