Rabu, 29 Agustus 2012

30 mei 2011


Apa yang menarik dari senja di sungai martapura, selain pantulan cahaya jingga di atas air yang mengalir pelan. Rasanya rerumputan di pinggir sungai itu begitu cepat tumbuh berkembang. Baru kemarin, aku memandang dari seberang sekumpulan penjual batang bambu yang mengikuti arus sungai, berserah pada takdir. Sambil menunggu kail pancing dipatuk ikan yang kebetulan khilaf. Mereka merenung memandang nasib dari balik air yang keruh. Bisakah malam ini mereka malam ini tidur di daratan? Tidur di daratan berarti setumpuk bambu itu telah terjual pada masyarakat pinggir sungai yang mengharap tempat yang nyaman saat buang hajat. Mereka tak henti menawarkan kenyamanan saat buang hajat, demi tidak tenggelam karena terlalu berat beban. Pikiran mereka menerawang saat senja mampir disini. padahal saya kira senja adalah anugerah, lantas saya melihat raut sedih di wajah mereka, raut muka yang terlihat pasrah, tidak ada pengharapan. Benarkah mereka telah putus asa? Saya mulai berspekulasi dengan cara pandang, dan mengambil jalan pintas melalui prasangka, sepihak, tak adil. Padahal bisa saja saya yang sebenarnya keheranan melihat realitas. Saat tak ada lagi pengharapan karena berkali-kali dikecewakan oleh nasib, takdir. Lantas mempersalahkan tuhan sebagai pengatur segalanya, dan memprasangkakan masalah pada pribadi lain. apakah saya telah kehilangan jati diri? Ataukah hidup memang begitu sederhana kali ini? mengharapkan sesuatu dari kebetulan-kebetulan. Menjalani hidup dari peruntungan di meja judi. Tangis dalam kekalahan, dan congkak dalam kemenangan. Tak saya sadari saya pun telah melamun sedemikian lama senja ini. untunglah senja belum pamit tuk pergi. Senja yang selalu datang saat jam-jam bersantai memang memabukkan. Membuat orang-orang merenung, menerawang dalam alam pikir masing-masing. Mematikan indera tuk sementara, tak berjawab pada akhirnya. Hanya spontanitas atas segala macam absurditas yang dipertontonkan setiap hari oleh realita. Namun, saya tak mengharap pada jawab, hanya selinting pertanyaan yang dibungkus diam, dan dilempar pada air yang dalam, tenggelam perlahan, entah dimana. Untunglah saya tersadar oleh nyamuk-nyamuk kecil yang meminta darah pada saya. Saya melawan nyamuk nakal, kemudian pergi. Senja telah meninggalkan kesendirian yang perlahan menghitam karena terhalang oleh bumi diujung sana. Pertanda dari usainya pentas perenungan bagi mereka yang menggila karena resah yang memuncak, namun tak bisa berontak. Juga bagi takdir penjual bambu yang mengalir bersama arus air sungai, menemui pagi dan menghantarkan senja, setiap hari.

Banjarmasin, 30 mei 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar