Apa yang menarik dari senja di sungai
martapura, selain pantulan cahaya jingga di atas air yang mengalir pelan.
Rasanya rerumputan di pinggir sungai itu begitu cepat tumbuh berkembang. Baru
kemarin, aku memandang dari seberang sekumpulan penjual batang bambu yang
mengikuti arus sungai, berserah pada takdir. Sambil menunggu kail pancing
dipatuk ikan yang kebetulan khilaf. Mereka merenung memandang nasib dari balik
air yang keruh. Bisakah malam ini mereka malam ini tidur di daratan? Tidur di
daratan berarti setumpuk bambu itu telah terjual pada masyarakat pinggir sungai
yang mengharap tempat yang nyaman saat buang hajat. Mereka tak henti menawarkan
kenyamanan saat buang hajat, demi tidak tenggelam karena terlalu berat beban.
Pikiran mereka menerawang saat senja mampir disini. padahal saya kira senja
adalah anugerah, lantas saya melihat raut sedih di wajah mereka, raut muka yang
terlihat pasrah, tidak ada pengharapan. Benarkah mereka telah putus asa? Saya
mulai berspekulasi dengan cara pandang, dan mengambil jalan pintas melalui
prasangka, sepihak, tak adil. Padahal bisa saja saya yang sebenarnya keheranan
melihat realitas. Saat tak ada lagi pengharapan karena berkali-kali dikecewakan
oleh nasib, takdir. Lantas mempersalahkan tuhan sebagai pengatur segalanya, dan
memprasangkakan masalah pada pribadi lain. apakah saya telah kehilangan jati
diri? Ataukah hidup memang begitu sederhana kali ini? mengharapkan sesuatu dari
kebetulan-kebetulan. Menjalani hidup dari peruntungan di meja judi. Tangis
dalam kekalahan, dan congkak dalam kemenangan. Tak saya sadari saya pun telah
melamun sedemikian lama senja ini. untunglah senja belum pamit tuk pergi. Senja
yang selalu datang saat jam-jam bersantai memang memabukkan. Membuat
orang-orang merenung, menerawang dalam alam pikir masing-masing. Mematikan indera
tuk sementara, tak berjawab pada akhirnya. Hanya spontanitas atas segala macam
absurditas yang dipertontonkan setiap hari oleh realita. Namun, saya tak
mengharap pada jawab, hanya selinting pertanyaan yang dibungkus diam, dan dilempar
pada air yang dalam, tenggelam perlahan, entah dimana. Untunglah saya tersadar
oleh nyamuk-nyamuk kecil yang meminta darah pada saya. Saya melawan nyamuk
nakal, kemudian pergi. Senja telah meninggalkan kesendirian yang perlahan
menghitam karena terhalang oleh bumi diujung sana. Pertanda dari usainya pentas
perenungan bagi mereka yang menggila karena resah yang memuncak, namun tak bisa
berontak. Juga bagi takdir penjual bambu yang mengalir bersama arus air sungai,
menemui pagi dan menghantarkan senja, setiap hari.
Banjarmasin, 30 mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar