Minggu, 12 Agustus 2012

mental tempe ; simbol inferioritas kita?


Muhammad Arsyad
“Kau itu bermental tempe.” Mungkin kita sering mendengar kalimat itu, menyebut seseorang dengan bermental tempe. Kata mental dan tempe sudah ada sebelumnya dalam benak. Pemilahan kata mental mungkin tak menjadi masalah karena ia mencoba menyebut suatu objek. Masalah ada ketika “kenapa kita mesti menyebut tempe dibelakang kata mental itu?”.
Bung karno, presiden pertama kita pernah berpidato ditengah pendengarnya “janganlah kita menjadi bangsa tempe.” Nah, ini juga menimbulkan satu pertanyaan, kenapa kata tempe dibawa-bawa hanya untuk menambah dramatis suatu kalimat? Apalagi, disana Bung Karno menambah kata jangan. Itu artinya ia mendakwa menjadi bangsa tempe mesti dihindari. Barangsiapa yang menjadi bangsa tempe,maka siallah ia. Setidaknya, begitu penafsiran sekilas ketika kita mendengar pernyataan bung karno itu.
Apa ia Bung Karno tak membaca sejarah bagaimana tempe sebenarnya merupakan makanan masyarakat jawa sejak abad ke-16 yang lalu. Dalam Manuskrip Serat Chentini yang ditulis pada awal abad ke-19, pada bab 3 dan bab 12 itu, dengan settingan abad ke-16 sudah ditemukan kata tempe. Apa ia Bung Karno tak menyadari kondisi rakyat saat Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang saat itu menerapkan kebijakan tanam paksa yang mengharuskan rakyat menanam tebu dan karet. Sehingga rakyat harus mencuri waktu dan mengharuskan mereka bertahan dengan memanfaatkan hasil kebun seperti ubi, singkong dan kacang soya. Dan kacang soya ini yang difermentasikan hingga menjadi tempe.
Kita tinggalkan Bung Karno dan orang-orang yang menyebut kata tempe. Marilah kita tarik istilah mental tempe dan bangsa tempe ini ke meja persidangan logika kita, tanpa harus membawa serta siapa yang menyebut kata itu. Karena mungkin tanpa berkata pun, kita mengamini seseorang yang berkata demikian melalui paradigma kita.
Baik itu mental tempe ataupun bangsa tempe adalah metafor. Ia bermaksud menandakan sesuatu dengan menganalogikannya pada sesuatu yang lain. Tempe tidak hanya ada disekitar kita, sebagai tanda ia memiliki kondisi material (tempe sebagaimana tempe yang kita makan), dan kondisi imaterial (tempe dalam konstruksi pikiran kita). Karena tempe juga memiliki dimensi imaterial, maka ia bisa saja menjadi salah satu referensi penamaan kita terhadap sesuatu yang lain. Kata tempe dalam pikiran kita, bisa saja kita comot untuk menandakan sesuatu yang lain, seperti kasus menambah kata tempe di belakang kata mental sehingga menjadi kata dengan makna baru yaitu mental tempe.
Kenapa kita harus mengambil kata tempe? Disini kita akan coba memperlawankannya dengan hamburger. Ya, kenapa kita tidak menggunakan kata mental hamburger untuk mengganti kata mental tempe?
Mental dan bangsa dalam kata mental tempe dan bangsa tempe adalah ia sebagai objek. Penambahan kata tempe dibelakangnya menandakan suatu kondisi. Karena itu, ketika kata tempe kita ganti menjadi hamburger, maka ceritanya akan lain.
Seringkali mental tempe merujuk pada kondisi mental yang rendahan dan pecundang. Apa ini karena tempe adalah makanan dengan harga yang murah sehingga merakyat [meskipun kandungan gizinya ternyata tinggi]?
Novel Para Priyayi karangan Umar Kayam yang dirilis tahun 1994 menguatkan paradigma tersebut. Terselip seorang tokoh, Ngadiyem namanya. Ia tiap pagi menjajakan tempe dan menjadi langganan sebuah keluarga priyayi, keluarga Sastrodarsono. Soenandar, anak kemenakan Sastrodarsono yang seorang perampok gerombolan memperkosa Ngadiyem dan melahirkan Lantip. Lantip yang saat kecil tidak mengetahui asal usul ayahnya, dibesarkan oleh Ngadiyem. Lantip kecil sering membantu ibunya menjajakan tempe. Saat berada di rumah Sastrodarsono, mereka berdua minder. Lantip berbicara dengan kepala tertunduk karena ia yang anak seorang pedagang tempe tidak pantas berbicara dengan seorang priyayi.
Gerak tubuh Lantip menandakan kelas sosial ia. Kata “mental tempe” juga menandakan suatu kelas sosial. Yaitu kelas sosial dengan pola pikir dan kebudayaan yang terbelakang. Karena itu, bila kita coba berpikir nakal dan eksperimentatif, bagaimana jika kemudian, kata mental tempe yang menandakan mental terbelakang itu kita ganti dengan kata mental hamburger? Mungkin ada konstruksi makna yang berbeda. Ada mitos yang coba dikacaukan olehnya. Ada suatu sikap untuk membalikkan mitos bahwa bukan tempe yang terbelakang, tetapi hamburger. Bahwa kelas sosial yang rendah pola pikirnya bukanlah ia yang bersinggungan dengan tempe, tetapi ia yang bersinggungan dengan hamburger. Eksperimen saya beralasan, kenapa saya memilih hamburger adalah karena hamburger di negara asalnya adalah makanan cepat saji bagi para pekerja karena mereka tak sempat untuk makan siang.
Bangsa Tempe Dalam Artian Sesungguhnya
Apakah mungkin kita adalah bangsa tempe dalam artian sesungguhnya? Jika begitu, kenapa Bung Karno melarang? Mari kita jawab.
Hari ini, tempe menjadi komoditas pangan yang sangat penting oleh mayoritas penduduk Indonesia. Selain harganya yang murah, ia juga sarat gizi. Sementara hamburger lebih berada pada masyarakat kelas menengah. Ia lebih diterima sebagai makanan yang tidak hanya sebagai makanan tetapi ia sebagai penanda kelas sosial. “Aku makan hamburger karena aku mampu ke Mcdonald’s, apalagi untuk membeli tempe,” misalnya.
William shurtleff dalam bukunya “the book of tempeh” menyebut tempe sebagai “a super soyfood from Indonesia”. Sementara hamburger adalah makanan yang terbuat dari daging cincang yang dibentuk bundar lalu digoreng dalam minyak panas, yang kemudian diapit oleh irisan roti dan sayur mayur. Ini makanan cepat saji yang berasal dari Hamburg (kota di Jerman) yang kemudian dipopulerkan dan lebih lekat sebagai sebuah nama restoran waralaba Mcdonald’s.
Maka sebutlah misal, tempe asal-usulnya dari Indonesia dan hamburger dari luar Indonesia. Atau misal, tempe adalah jati diri kita dan hamburger bukan jati diri kita. Asal-usul selalu merujuk pada rentetan-rentetan. Bila demikian tempe yang kita makan hari ini adalah asal-usul kita, maka ternyata justru salah. Kedelai sebagai bahan utama tempe ternyata hanya 30% dipenuhi oleh pasar domestik. Sisanya yang 70% itu dipenuhi oleh pasar luar negeri. Kedelainya tidak berasal dari tanah kita, Indonesia. Secara kultural, tempe memang dekat dengan keseharian kita, akan tetapi komoditas utama yang membangun tempe itu ada, ternyata mayoritas berasal dari luar. Keadaan yang terbalik terjadi jika kita menilik daging sapi sebagai bahan utama hamburger. Pemenuhan kebutuhan domestik akan daging sapi hanya ditutupi 23% oleh pasar luar negeri.
Lalu, apakah ini yang menyebabkan Bung karno melarang kita untuk menjadi bangsa tempe untuk kemudian menjadi bangasa hamburger saja? Hehe
***
Disaat, tempe menjadi mahal. Dan kedelai menjadi langka karena kita ternyata lebih mengandalkan kedelai impor sebagai bahan utama tempe. Kita akhirnya mengerti bahwa ternyata tempe ada di sekitar kita, pada wilayah terdekat dengan keseharian kita. sesuatu yang masuk selalu dalam mulut dan perut kita. ia yang menyatu dalam darah kita. Dan kita, melalui metafor, memakainya sebagai sesuatu yang hina. Dan untuk itulah, kita ternyata telah menjadi bangsa inferior. Menggunakan sesuatu yang melekat pada kita sebagai tanda kemunduran kita sendiri. Selamat !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar