Rabu, 29 Agustus 2012

keluarga


Hampir setiap dari kita mungkin akan sepakat bahwa keluarga adalah awal dimana kita menemui orang selain diri kita dalam hidup. Kita, selayaknya mahluk sosial, merekam jejak kenangan itu dalam memori. Dan kita, selayaknya mahluk berperasaan, menyimpan memori-memori itu dalam pikiran-pikiran kita. Hingga ialah kenangan yang selalu hadir diantara realitas. Selalu ada masa lalu yang membayangi kehidupan kita. Ya, konstruksi diri kita saat ini, tak lain adalah kesebangunan dari berbagai kenangan-kenangan dasariah kita.
Di dalam keluarga pondasi keperibadian kita dibentuk. Di keluarga, kita diajarkan tentang tentang moralitas. Di keluarga, kita diperlihatkan tentang arti ketulusan. Kita yang dulu begitu nakal, merengek meminta sesuatu kepada orang tua.
Saya teringat bahwa bagaimana ketika dulu, saat kawan sebaya saya dibelikan oleh orang tuanya mobil-mobilan. Sementara orang tua saya, dengan berbekal peralatan palu dan gergaji, membuatkan anaknya mobil-mobilan. Bagaimana mungkin saya akan melupakan bagaimana ayah saya satu persatu mengumpulkan kayu di kolong rumah hingga jadi sebuah karya sederhana sehingga saya pun bisa ikut bermain dengan kawan saya yang lain.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ayah saya, menggenjot sepedanya di tengah malam, membawa pulang saya yang saat itu tertidur dikursi belakang dari sebuah pengajian. Lantas mengikat badan saya dengan badannya agar tidak terjatuh. Hingga dingin malam seakan hilang karena tubuh ayah saya yang hangat.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ibu saya membuatkan baju yang saya pakai untuk melihat pameran yang ternyata tak lebih dari pasar malam. Dan dengan bangganya saya memakai setelan itu hingga membuat orang tua saya mengeluarkan senyum yang begitu teduh.
Bagaimana mungkin, saya akan melupakan itu semua. Orang tua selalu punya cara untuk menyenangkan kita. meskipun materi, mungkin tak selalu ada.
Waktu menampilkan semua apa adanya kepada kita, dengan telanjang. Hingga hari ini, masa depan selalu saja tak terjawab. Sementara masa lalu seperti bayangan. Masa lalu menjadi bukti kekuatan kita menghadapi kenyataan.
Waktu pula yang membawa kita pada kenyataan bahwa semua pada akhirnya akan menua. Orang tua yang tadinya begitu pugar sehingga mampu memenuhi permintaan anaknya dengan sederhana, mungkin akan berkurang kemampuan fisiknya.
Waktu pula yang membuat kita yang dulu adalah seorang anak ingusan yang hanya sibuk menghitung seberapa besar kelereng yang bisa dia menangkan hari itu, hari ini bermetamorfosa menjadi seorang pemuda atau seorang gadis.
Sementara keadaan seringkali membuat kita lupa. Kesempatan-kesempatan datang kepada kita seperti serombongan sales yang memberikan tawaran yang terlihat menggiurkan. Maka tak jarang, kita lupa pada yang asali pada diri.
Kali ini, kita tidak sedang berdebat tentang kebenaran. Biarlah kebenaran ada di menara gadingnya. Pengetahuan kita mungkin telah berkembang sedemikian rupa. Bahkan, mungkin saja ada beberapa nilai yang kita terima saat kecil oleh orang tua, tak bisa kita terima lagi hari ini. Sekali lagi, ini bukan perdebatan tentang nilai kebenaran yang disampaikan. Ia lebih dari itu, ia adalah tentang bagaimana kita memposisikan diri diantara kenangan-kenangan itu. Ia adalah tentang bagaimana kita merujuk kembali pada apa yang telah membangun identitas kita hingga hari ini.
Maka hari ini, menjadi manusia modern adalah menjadi manusia urban, menjadi manusia pekerja. Maka tak jarang pula, kita merantau. Bukankah merantau berarti pergi meninggalkan? Lantas, apakah merantau juga berarti kita akan meninggalkan kenangan kita?
Realitas sepertinya lebih kejam dari sekedar perkiraan kita. Karena realitas seringkali membuat kita lupa. Menjadi manusia perantau mengandung konsekuensi akan meninggalkan sesuatu keseharian. Bisa juga, menjadi manusia perantau akan berarti pula siap menjadi orang lain yang tak terketahui oleh kita sebelumnya.
Akan tetapi, toh realitas mesti dihadapi dengan apa adanya bukan?
Maka mudik bisa pula adalah momen kembali. Disana, kita menemukan yang asali pada diri. Bagaimana kita dipertemukan dengan ruangan tempat kita dilahirkan dulu. Bagaimana kita diperlihatkan dengan barang-barang mainan kita yang melapuk bahkan rusak. Bagaimana kita melihat bingkai foto yang terpampang di dinding yang disana ada foto seorang anak digendong oleh ayahnya. Bagaimana dari foto itu tergambar senyum seorang ayah yang begitu bangga atas kesehatan anaknya.
Barang-barang itu semua adalah pertanda tentang bagian-bagian dari apa yang membangun identitas kita. Melalui kenangan, ia seakan hidup. Dan melalui manusia, yaitu orang-orang di masa lalu kita (pengasuh kita) ia mestinya akan abadi. []



Tidak ada komentar:

Posting Komentar