Hampir setiap dari kita mungkin akan sepakat bahwa keluarga
adalah awal dimana kita menemui orang selain diri kita dalam hidup. Kita,
selayaknya mahluk sosial, merekam jejak kenangan itu dalam memori. Dan kita,
selayaknya mahluk berperasaan, menyimpan memori-memori itu dalam
pikiran-pikiran kita. Hingga ialah kenangan yang selalu hadir diantara
realitas. Selalu ada masa lalu yang membayangi kehidupan kita. Ya, konstruksi
diri kita saat ini, tak lain adalah kesebangunan dari berbagai
kenangan-kenangan dasariah kita.
Di dalam keluarga pondasi keperibadian kita dibentuk. Di
keluarga, kita diajarkan tentang tentang moralitas. Di keluarga, kita
diperlihatkan tentang arti ketulusan. Kita yang dulu begitu nakal, merengek
meminta sesuatu kepada orang tua.
Saya teringat bahwa bagaimana ketika dulu, saat kawan sebaya
saya dibelikan oleh orang tuanya mobil-mobilan. Sementara orang tua saya,
dengan berbekal peralatan palu dan gergaji, membuatkan anaknya mobil-mobilan. Bagaimana
mungkin saya akan melupakan bagaimana ayah saya satu persatu mengumpulkan kayu
di kolong rumah hingga jadi sebuah karya sederhana sehingga saya pun bisa ikut
bermain dengan kawan saya yang lain.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ayah saya,
menggenjot sepedanya di tengah malam, membawa pulang saya yang saat itu
tertidur dikursi belakang dari sebuah pengajian. Lantas mengikat badan saya
dengan badannya agar tidak terjatuh. Hingga dingin malam seakan hilang karena
tubuh ayah saya yang hangat.
Bagaimana mungkin saya akan lupa bagaimana ibu saya
membuatkan baju yang saya pakai untuk melihat pameran yang ternyata tak lebih
dari pasar malam. Dan dengan bangganya saya memakai setelan itu hingga membuat
orang tua saya mengeluarkan senyum yang begitu teduh.
Bagaimana mungkin, saya akan melupakan itu semua. Orang tua
selalu punya cara untuk menyenangkan kita. meskipun materi, mungkin tak selalu
ada.
Waktu menampilkan semua apa adanya kepada kita, dengan
telanjang. Hingga hari ini, masa depan selalu saja tak terjawab. Sementara masa
lalu seperti bayangan. Masa lalu menjadi bukti kekuatan kita menghadapi
kenyataan.
Waktu pula yang membawa kita pada kenyataan bahwa semua pada
akhirnya akan menua. Orang tua yang tadinya begitu pugar sehingga mampu
memenuhi permintaan anaknya dengan sederhana, mungkin akan berkurang kemampuan
fisiknya.
Waktu pula yang membuat kita yang dulu adalah seorang anak
ingusan yang hanya sibuk menghitung seberapa besar kelereng yang bisa dia
menangkan hari itu, hari ini bermetamorfosa menjadi seorang pemuda atau seorang
gadis.
Sementara keadaan seringkali membuat kita lupa.
Kesempatan-kesempatan datang kepada kita seperti serombongan sales yang
memberikan tawaran yang terlihat menggiurkan. Maka tak jarang, kita lupa pada
yang asali pada diri.
Kali ini, kita tidak sedang berdebat tentang kebenaran. Biarlah
kebenaran ada di menara gadingnya. Pengetahuan kita mungkin telah berkembang
sedemikian rupa. Bahkan, mungkin saja ada beberapa nilai yang kita terima saat
kecil oleh orang tua, tak bisa kita terima lagi hari ini. Sekali lagi, ini bukan
perdebatan tentang nilai kebenaran yang disampaikan. Ia lebih dari itu, ia
adalah tentang bagaimana kita memposisikan diri diantara kenangan-kenangan itu.
Ia adalah tentang bagaimana kita merujuk kembali pada apa yang telah membangun
identitas kita hingga hari ini.
Maka hari ini, menjadi manusia modern adalah menjadi manusia
urban, menjadi manusia pekerja. Maka tak jarang pula, kita merantau. Bukankah
merantau berarti pergi meninggalkan? Lantas, apakah merantau juga berarti kita
akan meninggalkan kenangan kita?
Realitas sepertinya lebih kejam dari sekedar perkiraan kita.
Karena realitas seringkali membuat kita lupa. Menjadi manusia perantau
mengandung konsekuensi akan meninggalkan sesuatu keseharian. Bisa juga, menjadi
manusia perantau akan berarti pula siap menjadi orang lain yang tak terketahui
oleh kita sebelumnya.
Akan tetapi, toh realitas mesti dihadapi dengan apa adanya
bukan?
Maka mudik bisa pula adalah momen kembali. Disana, kita
menemukan yang asali pada diri. Bagaimana kita dipertemukan dengan ruangan
tempat kita dilahirkan dulu. Bagaimana kita diperlihatkan dengan barang-barang
mainan kita yang melapuk bahkan rusak. Bagaimana kita melihat bingkai foto yang
terpampang di dinding yang disana ada foto seorang anak digendong oleh ayahnya.
Bagaimana dari foto itu tergambar senyum seorang ayah yang begitu bangga atas
kesehatan anaknya.
Barang-barang itu semua adalah pertanda tentang
bagian-bagian dari apa yang membangun identitas kita. Melalui kenangan, ia
seakan hidup. Dan melalui manusia, yaitu orang-orang di masa lalu kita
(pengasuh kita) ia mestinya akan abadi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar