Rabu, 29 Agustus 2012

ziarah


Ada satu kebiasaan khalayak ramai bahwa lebaran akan dilewatkan dengan ziarah. Maka taman pemakaman umum yang biasanya sunyi senyap, menjadi ramai oleh lalu lalang peziarah.
Begitu pula yang saya alami dengan lebaran kali ini. selepas bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, saya dengan beberapa kawan semasa kecil berjalan kaki berkeliling kampung. Menyinggahi satu persatu makam, yang dari sekian banyak makam itu ada yang tidak sezaman dengan saya hidup. kami menyambangi makam itu tak lebih dari rasa ekspresi kesyukuran akan apa yang telah mereka bangun dengan kampung ini.
Sama seperti saat saya ziarah ke makam bung karno bersama rekan-rekan pers mahasiswa beberapa bulan lalu. berziarah kepada tetuha kampung saya hari itu adalah sebuah momentum refleksi atas diri saya sendiri dan perjalanan kampung kami.
Kampung kami, kental dengan nuansa religius. Terletak di pinggiran kota martapura, perlahan ia mulai tergerus oleh modernisasi perkotaan. Namun, apa yang menjadi kesyukuran saya hari ini adalah bahwa di kampung ini, masih tegak berdiri sebuah madrasah. Sebuah madrasah yang meskipun saya tak sempat menuntaskan bersekolah disana karena berbenturan dengan sekolah negeri yang mesti saya pilih.
Mungkin saya tak sempat bertemu dan belajar secara langsung kepada beliau-beliau itu. dari ziarah itu, ada satu doa yang tak pernah saya tinggalkan. Agar kampung ini tetap terjaga dengan kediriannya menghadapi modernitas. Itu saja, meskipun mungkin keadaan nanti akan berbicara lain. Karena bisa saja, disaat keadaan berbicara lain yang mengharuskan saya meninggalkan kampung ini untuk merantau.
Selain itu, kami juga berziarah ke makam kawan masa kecil saya yang lebih dulu meninggal. Letaknya yang berada di ujung pemakaman, disampingnya tumbuh bunga kenanga. Semacam ada kesendirian yang begitu hening. Kesendirian yang melebihi batas definisi kesendirian itu sendiri.
Maka disana, kenangan-kenangan masa lalu kami. Kenakalan seorang anak-anak yang terkadang begitu menjengkelkan, sekaligus begitu polos menghadir diantara ruang ingat.
Terakhir, saya berpencar dengan kawan saya. Saya meneruskan ziarah ke makam kakek dan datuk saya, sementara kawan saya pulang. Tinggallah saya sendiri. Kali ini, suasananya tentu begitu dekat. Meskipun, kini selalu ada jarak. Cerita-cerita yang dikisahkan oleh abah saya tentang kakek saya itu membuat saya tak lupa akan diri saya dan asal keluarga saya.
Sementara bagi abah, lebaran kali ini begitu mengharukan. Ibunya, yang juga nenek saya, tujuh bulan lalu, berpulang. Maka jika lebaran adalah momentum masa lalu. Maka itulah yang kemudian membuat ayah dengan suara bernada getir ketika meminta anak-anaknya untuk ziarah ke kubur ibunya. Di matanya, saya melihat ketulusan dan penyesalan seorang anak. ini pula yang membuat perasaan saya menjadi dingin. Esoknya, saya menjadi begitu sentimentil ketika berbicara kematian. Aih, lebaran..[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar