Ada satu kebiasaan khalayak ramai bahwa lebaran akan
dilewatkan dengan ziarah. Maka taman pemakaman umum yang biasanya sunyi senyap,
menjadi ramai oleh lalu lalang peziarah.
Begitu pula yang saya alami dengan lebaran kali ini. selepas
bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, saya dengan beberapa kawan semasa
kecil berjalan kaki berkeliling kampung. Menyinggahi satu persatu makam, yang
dari sekian banyak makam itu ada yang tidak sezaman dengan saya hidup. kami
menyambangi makam itu tak lebih dari rasa ekspresi kesyukuran akan apa yang
telah mereka bangun dengan kampung ini.
Sama seperti saat saya ziarah ke makam bung karno bersama
rekan-rekan pers mahasiswa beberapa bulan lalu. berziarah kepada tetuha kampung
saya hari itu adalah sebuah momentum refleksi atas diri saya sendiri dan
perjalanan kampung kami.
Kampung kami, kental dengan nuansa religius. Terletak di
pinggiran kota martapura, perlahan ia mulai tergerus oleh modernisasi
perkotaan. Namun, apa yang menjadi kesyukuran saya hari ini adalah bahwa di kampung
ini, masih tegak berdiri sebuah madrasah. Sebuah madrasah yang meskipun saya
tak sempat menuntaskan bersekolah disana karena berbenturan dengan sekolah
negeri yang mesti saya pilih.
Mungkin saya tak sempat bertemu dan belajar secara langsung
kepada beliau-beliau itu. dari ziarah itu, ada satu doa yang tak pernah saya
tinggalkan. Agar kampung ini tetap terjaga dengan kediriannya menghadapi
modernitas. Itu saja, meskipun mungkin keadaan nanti akan berbicara lain.
Karena bisa saja, disaat keadaan berbicara lain yang mengharuskan saya
meninggalkan kampung ini untuk merantau.
Selain itu, kami juga berziarah ke makam kawan masa kecil
saya yang lebih dulu meninggal. Letaknya yang berada di ujung pemakaman,
disampingnya tumbuh bunga kenanga. Semacam ada kesendirian yang begitu hening.
Kesendirian yang melebihi batas definisi kesendirian itu sendiri.
Maka disana, kenangan-kenangan masa lalu kami. Kenakalan
seorang anak-anak yang terkadang begitu menjengkelkan, sekaligus begitu polos
menghadir diantara ruang ingat.
Terakhir, saya berpencar dengan kawan saya. Saya meneruskan
ziarah ke makam kakek dan datuk saya, sementara kawan saya pulang. Tinggallah
saya sendiri. Kali ini, suasananya tentu begitu dekat. Meskipun, kini selalu
ada jarak. Cerita-cerita yang dikisahkan oleh abah saya tentang kakek saya itu
membuat saya tak lupa akan diri saya dan asal keluarga saya.
Sementara bagi abah, lebaran kali ini begitu mengharukan.
Ibunya, yang juga nenek saya, tujuh bulan lalu, berpulang. Maka jika lebaran
adalah momentum masa lalu. Maka itulah yang kemudian membuat ayah dengan suara
bernada getir ketika meminta anak-anaknya untuk ziarah ke kubur ibunya. Di
matanya, saya melihat ketulusan dan penyesalan seorang anak. ini pula yang
membuat perasaan saya menjadi dingin. Esoknya, saya menjadi begitu sentimentil
ketika berbicara kematian. Aih, lebaran..[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar