Senin, 18 Juni 2012

hak tanah untuk masyarakat adat


HAK TANAH UNTUK MASYARAKAT ADAT
Oleh : Muhammad Arsyad
“jauh sebelum indonesia merdeka, nenek moyang kami sudah melakukan aktivitas di tanah ini. lalu atas dasar apa jika kemudian kami dipandang sebagai penjarah hutan?”ayalkosal
Di suatu pagi di pelataran rumah yang terletak di perkampungan di sekitar pegunungan meratus. gemuruh suara air menghantam bebatuan terdengar terus menerus di sungai amandit. Air sungai begitu dingin, jernih. Saya langsung meminum air itu di saat terik matahari, sejuk di tenggorokan. Pepohonan beragam macam, buah-buahan akan menuai hasil di saat waktunya. Keberlimpahan buah memperlihatkan alam yang senantiasa memberi pada mereka yang sanantiasa menjaganya.
Malam sebelumnya, bersama seorang kawan, saya berbincang di warung minum di desa Lok lahung. Kami mencoba berbincang dengan salah satu masyarakat. Kami tanyai tentang pemetaan, seorang pemuda mengiyakan bahwa mereka melakukan pemetaan kawasan adat. Tidak lupa, ia menanyakan identitas diri kepada kami. Berbalas, kami pun memperkenalkan diri.
Awalnya, kami berniat wawancara dengan kepala desa lok lahung. “kepala desa sedang di hutan. Sekitar tiga hari baru pulang lagi”, kata lelaki itu, dengan bahasa indonesia beraksen dayak meratus. Niat awal kami urungkan karena ketidakmungkinan waktu. Lantas, masyarakat yang ada di warung itu memberitahu pilihan lain, wawancara damang. Damang itu kepala adat, orang yang dituakan dalam sub etnis dayak meratus.
Adalah Ayalkosal, seorang damang dari balai malaris pegunungan meratus kabupaten hulu sungai selatan yang di suatu pagi saya temui. Matanya sipit, kulitnya kuning langsat. Di umur sekitas 70an, ia terlihat bugar.
Esok harinya di desa lok Lahung. Di muka pembicaraan, lelaki paruh baya itu mempertanyakan mengapa negara menetapkan begitu saja status tanah di kawasan adat mereka. Ini yang menjadi akar masalah kenapa hingga mereka mengusulkan pemetaan partisipatif untuk kawasan adat mereka, yaitu tumpang tindih status hukum adat dengan hukum negara.
Kawasan adat balai malaris terletak di pegunungan meratus yang oleh negara melalui UU kehutanan dianggap sebagai kawasan hutan lindung. Sementara oleh masyarakat adat, sejak dari nenek moyang, mereka sudah tinggal, merawat dan menyatu dengan alam disana.
Dualisme hukum atas tanah, bukanlah sesuatu hal yang baru. Pada zaman kolonialisme, hukum agraria pada pokoknya membagi hak-hak atas tanah dalam dua golongan, yaitu: pertama, Hak-hak Barat, yaitu hak yang takluk pada hukum yang berlaku bagi golongan Eropa yang disebut hukum Barat. Lalu dikenal Hak Barat contohnya Hak  Eigendom, Hak Erfpacht dan Hak Opstal. Tanah-tanah dengan hak Barat disebut tanah-tanah Eropa. Kedua, Hak-hak adat, yaitu hak yang takluk pada hukum yang barlaku bagi golongan Bumi putera yang disebut tanah-tanah Indonesia (Inlands bezitrecht).
Walaupun pada rentang tahun 60-an, Undang-undang pokok agraria terbit sebagai jalan keluar terhadap dualisme tersebut. Namun, orde lama berakhir, orde baru punya kebijakan berbeda, penafsiran hak menguasai negara justru dilecengkan dari garis maksud UUPA. Banyak produk kebijakan orde baru bertolak belakang dengan semangat reforma agraria, terutama untuk kawasan adat. Melalui produk hukum seperti UU kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba; tidak memperhitungkan status kawasan adat. Dualisme semakin terasa.
Selepas milenium kedua, masyarakat adat banyak gencar melakukan pemetaan partisipatif terhadap kawasan adat di wilayah mereka. Upaya rasionalisasi hukum adat merupakan bentuk dari konstekstualisasi hukum adat sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya dengan melakukan pemuatan ulang isi dan tafsir hukum adat dan menyajikannya dalam bentuk verbal. Peralihan perangkat dan bentuk hukum adat dari oral ke verbal ini menjadi penting di tengah tumpang tindih dan tuntutan dari ancaman globalisasi, kapitalisme yang terkadang menyusup melalui otoritas negara.
Begitu pula dengan masyarakat sub etnis dayak meratus. Bersama Walhi, mereka melakukan pemetaan terhadap kawasan adat mereka. Pemetaan ini merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat adat balai meratus. Selama ini, mereka tak jarang dianggap sebagai penjarah hutan oleh aparat negara.“Seringkali kami dianggap sebagai penjarah hutan karena sistem ladang berpindah, padahal kami melakukan itu dengan suatu pola” ujar ayalkosal, getir suaranya.
Selain itu, Pemetaan partisipatif juga merupakan upaya untuk mempermudah peruntukan ruang dan pemanfaatan aktivitas ekonomi jangka panjang yang berkeadilan. “Selama ini, batas wilayah tanah adat disepakati hanya berdasarkan batas pohon, sungai maupun bebatuan” lagi, ayalkosal menambahkan.
Pada wilayah balai malaris terdapat beberapa peruntukan lahan yakni kawasan pemukiman, perladangan, hutan kayu dan buah, serta kawasan keramat seperti kuburan dan penetapannya dengan aturan adat tersendiri. Sistem kepemilikan lahan masyarakat balai malaris memiliki sistem kepemilikan yang sama berdasarkan sistem waris, dan jual beli untuk kawasan beberapa kawasan seperti permukiman, perladangan, perkebunan; sedangkan hutan kayu dan buah dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama.
Masyarakat meratus banyak menjadi petani karet. sadapan karet nantinya akan dikumpulkan pada pengumpul, dibawa keluar hulu sungai selatan. Perladangan masyarakat malaris adalah berladang padi tugalan, padi yang ditanam di lereng pegunungan. Tekstur biji padi jenis ini berbeda dengan beras di dataran rendah seperti di gambut. Padi ditanam untuk kebutuhan makan nasi sehari-hari.
“Untuk kawasan keramat, kami anggap sebagai kawasan yang tidak boleh dimasuki oleh manusia. disana kawasan nenek moyang kami bersemayam” tambah lelaki yang berusia 70 tahunan ini.
Tanah adat adalah ruang hidup jangka panjang oleh masyarakat adat balai malaris. hampir seluruh masyarakat di balai malaris memanfaatkan tanah untuk kegiatan seperti berladang, berburu, serta berkebun.
Ayalkosal menyayangkan bahwa negara dengan semena-mena menetapkan status kawasan hutan lindung atas kawasan adat mereka. “Kami khawatir bahwa nanti tanah adat kami ini nantinya akan diserahkan kepada investor untuk dieksploitasi. Kami tidak mau tergusur dari tanah ibu kami” tegasnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar