HAK TANAH UNTUK
MASYARAKAT ADAT
Oleh : Muhammad Arsyad
“jauh sebelum
indonesia merdeka, nenek moyang kami sudah melakukan aktivitas di tanah ini.
lalu atas dasar apa jika kemudian kami dipandang sebagai penjarah hutan?”ayalkosal
Di suatu pagi di pelataran rumah yang terletak di perkampungan
di sekitar pegunungan meratus. gemuruh suara air menghantam bebatuan terdengar
terus menerus di sungai amandit. Air sungai begitu dingin, jernih. Saya langsung
meminum air itu di saat terik matahari, sejuk di tenggorokan. Pepohonan beragam
macam, buah-buahan akan menuai hasil di saat waktunya. Keberlimpahan buah
memperlihatkan alam yang senantiasa memberi pada mereka yang sanantiasa menjaganya.
Malam sebelumnya, bersama seorang kawan, saya berbincang di
warung minum di desa Lok lahung. Kami mencoba berbincang dengan salah satu
masyarakat. Kami tanyai tentang pemetaan, seorang pemuda mengiyakan bahwa
mereka melakukan pemetaan kawasan adat. Tidak lupa, ia menanyakan identitas
diri kepada kami. Berbalas, kami pun memperkenalkan diri.
Awalnya, kami berniat wawancara dengan kepala desa lok
lahung. “kepala desa sedang di hutan. Sekitar tiga hari baru pulang lagi”, kata
lelaki itu, dengan bahasa indonesia beraksen dayak meratus. Niat awal kami
urungkan karena ketidakmungkinan waktu. Lantas, masyarakat yang ada di warung
itu memberitahu pilihan lain, wawancara damang. Damang itu kepala adat, orang
yang dituakan dalam sub etnis dayak meratus.
Adalah Ayalkosal, seorang damang dari balai malaris
pegunungan meratus kabupaten hulu sungai selatan yang di suatu pagi saya temui.
Matanya sipit, kulitnya kuning langsat. Di umur sekitas 70an, ia terlihat
bugar.
Esok harinya di desa lok Lahung. Di muka pembicaraan, lelaki
paruh baya itu mempertanyakan mengapa negara menetapkan begitu saja status
tanah di kawasan adat mereka. Ini yang menjadi akar masalah kenapa hingga
mereka mengusulkan pemetaan partisipatif untuk kawasan adat mereka, yaitu
tumpang tindih status hukum adat dengan hukum negara.
Kawasan adat balai malaris terletak di pegunungan meratus
yang oleh negara melalui UU kehutanan dianggap sebagai kawasan hutan lindung.
Sementara oleh masyarakat adat, sejak dari nenek moyang, mereka sudah tinggal,
merawat dan menyatu dengan alam disana.
Dualisme hukum atas tanah, bukanlah sesuatu hal yang baru.
Pada zaman kolonialisme, hukum agraria pada pokoknya membagi hak-hak atas tanah
dalam dua golongan, yaitu: pertama, Hak-hak Barat, yaitu hak yang takluk pada
hukum yang berlaku bagi golongan Eropa yang disebut hukum Barat. Lalu dikenal
Hak Barat contohnya Hak Eigendom, Hak
Erfpacht dan Hak Opstal. Tanah-tanah dengan hak Barat disebut tanah-tanah
Eropa. Kedua, Hak-hak adat, yaitu hak yang takluk pada hukum yang barlaku bagi
golongan Bumi putera yang disebut tanah-tanah Indonesia (Inlands bezitrecht).
Walaupun pada rentang tahun 60-an, Undang-undang pokok
agraria terbit sebagai jalan keluar terhadap dualisme tersebut. Namun, orde
lama berakhir, orde baru punya kebijakan berbeda, penafsiran hak menguasai
negara justru dilecengkan dari garis maksud UUPA. Banyak produk kebijakan orde
baru bertolak belakang dengan semangat reforma agraria, terutama untuk kawasan
adat. Melalui produk hukum seperti UU kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, UU
Minerba; tidak memperhitungkan status kawasan adat. Dualisme semakin terasa.
Selepas milenium kedua, masyarakat adat banyak gencar
melakukan pemetaan partisipatif terhadap kawasan adat di wilayah mereka. Upaya
rasionalisasi hukum adat merupakan bentuk dari konstekstualisasi hukum adat
sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya dengan melakukan pemuatan ulang isi
dan tafsir hukum adat dan menyajikannya dalam bentuk verbal. Peralihan
perangkat dan bentuk hukum adat dari oral ke verbal ini menjadi penting di
tengah tumpang tindih dan tuntutan dari ancaman globalisasi, kapitalisme yang
terkadang menyusup melalui otoritas negara.
Begitu pula dengan masyarakat sub etnis dayak meratus.
Bersama Walhi, mereka melakukan pemetaan terhadap kawasan adat mereka. Pemetaan
ini merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat adat balai meratus. Selama ini,
mereka tak jarang dianggap sebagai penjarah hutan oleh aparat negara.“Seringkali
kami dianggap sebagai penjarah hutan karena sistem ladang berpindah, padahal
kami melakukan itu dengan suatu pola” ujar ayalkosal, getir suaranya.
Selain itu, Pemetaan partisipatif juga merupakan upaya untuk
mempermudah peruntukan ruang dan pemanfaatan aktivitas ekonomi jangka panjang
yang berkeadilan. “Selama ini, batas wilayah tanah adat disepakati hanya
berdasarkan batas pohon, sungai maupun bebatuan” lagi, ayalkosal menambahkan.
Pada wilayah balai malaris terdapat beberapa peruntukan
lahan yakni kawasan pemukiman, perladangan, hutan kayu dan buah, serta kawasan
keramat seperti kuburan dan penetapannya dengan aturan adat tersendiri. Sistem
kepemilikan lahan masyarakat balai malaris memiliki sistem kepemilikan yang
sama berdasarkan sistem waris, dan jual beli untuk kawasan beberapa kawasan
seperti permukiman, perladangan, perkebunan; sedangkan hutan kayu dan buah
dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama.
Masyarakat meratus banyak menjadi petani karet. sadapan
karet nantinya akan dikumpulkan pada pengumpul, dibawa keluar hulu sungai
selatan. Perladangan masyarakat malaris adalah berladang padi tugalan, padi
yang ditanam di lereng pegunungan. Tekstur biji padi jenis ini berbeda dengan
beras di dataran rendah seperti di gambut. Padi ditanam untuk kebutuhan makan
nasi sehari-hari.
“Untuk kawasan keramat, kami anggap sebagai kawasan yang
tidak boleh dimasuki oleh manusia. disana kawasan nenek moyang kami bersemayam”
tambah lelaki yang berusia 70 tahunan ini.
Tanah adat adalah ruang hidup jangka panjang oleh masyarakat
adat balai malaris. hampir seluruh masyarakat di balai malaris memanfaatkan
tanah untuk kegiatan seperti berladang, berburu, serta berkebun.
Ayalkosal menyayangkan bahwa negara dengan semena-mena
menetapkan status kawasan hutan lindung atas kawasan adat mereka. “Kami khawatir
bahwa nanti tanah adat kami ini nantinya akan diserahkan kepada investor untuk
dieksploitasi. Kami tidak mau tergusur dari tanah ibu kami” tegasnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar