PRA KOLONIALISME BELANDA
Pada masa kerajaan masih berdiri, corak feodalisme dalam
pengelolaan agraria sangat terasa. Pada masa tersebut, status tanah adalah
milik raja secara mutlak, sementara rakyat hanya berhak meminjam atas tanah,
tentu dengan timbal balik yang tidak menguntungkan bagi rakyat. Secara de jure,
kekuasaan tanah dipegang oleh raja, sementara secara de facto, pada praktiknya
lebih banyak berada pada tangan abdi dalem kerajaan. Ini dikarenakan, kewajiban
bakti abdi dalem kepada raja membuat mereka membagi beban tersebut kepada
rakyat yang berada di bawah mereka hingga beban yang mereka pikul semakin
mengecil, akan tetapi beban yang dipindahkan kepada rakyat semakin membesar.
Mochammad tauchid berpendapat bahwa, sistem feodalisme saat
itu merupakan satu bentuk perbudakan baik dalam arti ekonomi, politik, maupun
sosial kultural. Tanah dikuasai raja, sementara rakyat hanya sebagai petani
penggarap yang wajib menyerahkan sebagian hasilnya untuk kepentingan raja.
ABAD 17-18
Kolonialisme belanda diawali dengan kedatangan VOC sebagai
perusahaan dagang. Sejak abad 17-18 VOC telah memikirkan bagaimana
mengekploitasi sistem feodal yang telah berlaku di tanah jawa. Dalam beberapa
periode krisis, VOC mampu melakukan perjanjian dengan kekuasaan tradisional
(kerajaan banten dan mataram) hingga menggantikan posisi mereka sebagai tuan
baru yang mempunyai hak klaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja dan
pengumpulan pajak. Perluasan kekuasaan VOC ini menjadikannya sebagai sebuah
teritorial state dari sekedar perusahaan dagang semata. Dirk Van Hogendorp yang
berkuasa saat itu memberlakukan stelsel tanah pada tahun 1799. Ia berpendapat
bahwa stelsel feodal yang terdapat di jawa mematikan segala kemauan usaha. Ia mencabut
kekuasaan dan hak menguasai tanah dari para bupati dan menghendaki kebebasan
menanam dengan sistem persewaan tanah dalam bentuk penggunaannya sebagai
perkebunan partikelir. Ekonomi jawa abad 19 tidak kondusif pada pasar dan
tingkat spesialisasi produksi yang relatif rendah menuntut perubahan struktur.
MASA DAENDELS
Terinspirasi oleh revolusi prancis, Herman Willem Daendels
melaksanakan perombakan birokrasi di negeri jajahan. Daendels mencoba
meniadakan kepentingan kerajaan dengan menurunkan simbol-simbol kebesaran
kerajaan. Jika pada masa VOC formasi kenegaraan diisi oleh kepentingan ekonomi
dan pengusaha, maka daendels mencoba memisahkan keduanya. Daendels menempatkan
para bupati di jawa sebagai bagian dari kepegawaian administrasi belanda, bukan
sebagai penguasa atau pemimpin masyarakat di daerahya masing-masing. Birokrasi
adalah pranata modern dengan sistem penggajian. Dalam pelaksanannya, semangat
pembaharuan daendels dengan metode kediktatoran ini lebih banyak membuahkan
perlawanan ketimbang keberhasilan.
Rasionalisasi yang dijalankan dengan tangan besi oleh
daendels ini mengakibatkan tersedotnya biaya yang tinggi, belum lagi untuk
menggaji pegawai birokrasi. Maka yang terjadi kemudian adalah, daendels menjual
tanah-tanah kepada pihak partikelir.
MASA RAFFLES
“land rent system” begitu sistem yang mashur pada periode kepemimpinan Raffles.
Raffles berkesimpulan bahwa status tanah dimiliki oleh pemerintah. Inilah yang
disebut dengan domein theory yaitu teori tentang kepemilikan negara yang lahir
dari hasil penyelidikan komisi yang dibentuk oleh raffles pada masanya. Ia
menyatakan “ tanah setelah disurvei dan diukur akan diberikan kepada petani
menurut proporsi yang adil. Kontrak diadakan antara petani dan pemerintah
secara pribadi. Petani diharuskan membayar sejumlah uang sebagai bentuk sewa atau
pajak kepada negara.
Sistem itu memberi dua arti:negara sebagai tuan tanah baru
menggantikan penguasa tradisional sebelumnya; dan terbukanya aksebilitas tanah
oleh siapapun yang mampu membayar uang sewa (pada kenyataannya juga membeli)
pada negara.
Berdasarkan berbagai laporan para bupati, disimpulkan bahwa
kebijakan itu memberi dampak pada kemajuan bidang pertanian, turunnya angka
kejahatan, peningkatan produksi, perbaikan infrastruktur dan perluasan lahan garap.
Raffles juga menjual tanah dalam jumlah besar termasuk
tanah-tanah yang telah lama didiami penduduk kepada pihak partikelir. Penjualan
tersebut disertai pula dengan segenap peralihan hak feudal kepada perusahaan
tersebut. (hak mengutip pajak dan pengerahan tenaga kerja di perkebunan). Era
liberal telah dimulai dengan nyata. Ekonomi liberal raffles ditandai dengan
regulasi pertanahan dalam rangka menghidupkan aset-aset yang mati sebab
dikuasai dalam sistem feodal/adat.
REDEPOLITISASI BIROKRASI VAN DER CAPELLEN
Van Der Capellen meneruskan kebijakan sebelumnya, yakni
menempatkan birokrasi sebagai pegawai negeri sipil dengan tugas mengumpulkan
data statistik hampir semua aspek kehidupan ekonomi dan masyarakat. Pemerintahannya
memperkenalkan kontrak penjualan produk langsung ke petani, dimana sebelumnya
harus melalui pemuka desa. Gagasan ini memperlemah posisi elite lokal dan memperluas
kemampuan petani terhadap pasar bebas. Van Der Capellen menerapkan kebijakan
penjaminan kepada masyarakat jawa agar mereka dapat memetik hasil dari tanah
mereka secara bebas, asal dengan jaminan membayar sewa tanah.
CULTUURSTELSEL (1830)
Johannes Van Den Bosch mewajibkan setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu dan
tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkankepada pemerintah
kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 har dalam
setahun pada kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya, peraturan tersebut dapat dikatakan tidak
berlaku karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan
hasilnya diserahkan kepada kolonial.wilayah yang digunakan untuk praktik
cultuurstelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
justru diharuskan bekerja setahun penuh.
EKONOMI LIBERAL (1870)
Pada masa ini, terdapat pertarungan dua pihak akan status
keterlibatan pihak swasta di negara jajahan, apakah diperbolehkan untuk melakukan
aktivitas ekonomi atau tetap pada sistem yang telah ada. Untuk memuaskan kedua
belah pihak, pemerintah kolonial melakukan survei yang menitikberatkan pada
beberapa pertanyaan penting yakni tentang hak pribumi atas tanah, kepemilikan
individu atau komunal, darimana sumber hak tersebut, jaminan dalam
mempertahankan hak, berlaku tidaknya suatu hak, pemindahtanganan hak yang
kesemuanya ini memberi kaitan pada bentuk dan pemerintahan desa.
Pada tahun 1870 Agrarische Wet
(Undang-Undang Agraria) berhasil dilahirkan. Ini semacam kemenangan dari pihak
liberal. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan
dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan
para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari
pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari
penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin
kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas
tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak milik pribadi.
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa dan Madura dituangkan
dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal 1 menyatakan :
“Dengan kekecualian
atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch
Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak miliknya tidak dapat
dibuktikan, akan dianggap milik negara”.
Penafsiran atas Agrarische besluit ini ditafsirkan
berbeda-beda oleh beberapa sarjana. Misalnya, dalam hukum adat, diakui bahwa desa
mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari kepala
desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut
pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah
kekuasaan negara.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu,
seperti, hak eigendom (hak milik);
opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain); dan erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan
lain-lain. Disamping hak-hak yang diundangkan tersebut, hak-hak adat terus
berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk memungut hasil hutan, hak pakai,
hak gadai dan hak sewa.
ORDE LAMA
Dualisme hukum pertanahan pada masa kolonialisme yang dimulai
sejak era liberal diperdebatkan pasca kemerdekaan. Dualisme yang dimaksud
adalah dualisme antara hukum adat dengan hukum barat. Pemerintah Indonesia yang
baru terbentuk yang menyadari pentingnya pengaturan mengenai pertanahan
termasuk pendaftaran tanah yang harus
dituangkan dalam suatu undang-undang.
Namun, baru pada tahun 1960 terbit Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Bersamaan dengan terbitnya UUPA No. 5 tahun 1960 tersebut,
diatur mengenai kepemilikan tanah untuk rakyat dengan luasan minimum dua hektar
dan luasan maksimum dilihat berdasarkan penggunaan tanah dan perhitungan
kepadatan agraris.
Terbitnya UUPA ini menjadi jalan bagi pemerataan tanah untuk
rakyat, namun dalam pelaksanaannya kemudian mengalami berbagai macam hambatan.
Kudeta politik lima tahun kemudian mengharuskan Soekarno untuk mundur dari
kursi kepresidenan serta menandai bergantinya orde dan kepemimpinan.
ORDE BARU
Soeharto muncul sebagai presiden pada masa orde baru.
Karakteristik orde baru bertolak belakang dengan orde sebelumnya. Sehingga
pengambilan kebijakan agraria pun tidak sejalan. Pelaksanaan UUPA mengalami
hambatan. Sejak ketetapan MPRS No. XXIII/ MPRS/ tahun 1966. Produk UU No. 1
tahun 1967 tentang penanaman modal asing membuka jalan bagi para investor luar
dalam mengelola sumber daya Indonesia. Didukung pula oleh UU No. 5 Tahun 1967
tentang pokok kehutanan. Ada pula dikeluarkan PP No. 21 tahun 1970 tentang hak
pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Ini menandakan bahwa kebijakan pada
masa orde baru identik dengan padat modal dengan pengerukan pada sumber daya
alam dengan skala besar.
Pada tahun 1981 dikeluarkan Kepres No. 49 / 1981 mengenai
kontrak pengusahaan batubara generasi 1 atau yang lebih dikenal sebagai
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Saat itu di
Kalimantan Selatan terdapat 3 perusahaan yakni PT. Arutmin, PT Adaro dan PT.
Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut izinnya). Pada tahun 1993, melalui
kebijakan Keppres No. 21 / 1993 iin PKP2B bertambah yang terdiri dari 5
perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama,
Borneo Indobara.
ORDE REFORMASI
Runtuhnya rezim Soeharto menandai berakhirnya orde baru dan
dimulainya babak baru dalam khazanah keindonesiaan. Namun, semangat reformasi
agraria yang terkandung dalam UUPA masih berlarut-larut dan tidak optimal
dijalankan.
Melalui UU Minerba No 4 tahun 2009 telah mengubah sistem
perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Awalnya perizinan
diberikan dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP), kontrak karya, atau PKP2B
menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Demikian pula mekanisme untuk memperoleh
perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara, semula dengan mekanisme
pencadangan wilayah untuk seluruh bahan galian berubah menjadi mekanisme IUP
diterbitkan pada wilayah izin usaha pertambangan dengan cara lelang, kecuali
untuk mineral bukan logam dan batuan dengan mekanisme permohonan wilayah.
Desentralisasi menggaung di masa ini. desentralisasi
terutama menyangkut pembagian wewenang dan keuntungan hasil sumber daya alam. Pada
masa ini daerah diperbolehkan mengeluarkan izin kuasa pertambangan yang semula
menjadi kewenangan pemerintah pusat.
2012 merupakan awal dari tahun perkebunan kelapa sawit.
Indonesia merangkak naik ke posisi satu eksportir minyak kelapa sawit. Produk
kebijakan pemerintah banyak bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat.
Dirangkum dari :
- Sejarah Pemikiran Agraria Karya Ahmad Nashih Lutfhi
- INDONESIA : HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN Karya Erman Rajagukguk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar