Senin, 18 Juni 2012

periodisasi kebijakan agraria


PRA KOLONIALISME BELANDA
Pada masa kerajaan masih berdiri, corak feodalisme dalam pengelolaan agraria sangat terasa. Pada masa tersebut, status tanah adalah milik raja secara mutlak, sementara rakyat hanya berhak meminjam atas tanah, tentu dengan timbal balik yang tidak menguntungkan bagi rakyat. Secara de jure, kekuasaan tanah dipegang oleh raja, sementara secara de facto, pada praktiknya lebih banyak berada pada tangan abdi dalem kerajaan. Ini dikarenakan, kewajiban bakti abdi dalem kepada raja membuat mereka membagi beban tersebut kepada rakyat yang berada di bawah mereka hingga beban yang mereka pikul semakin mengecil, akan tetapi beban yang dipindahkan kepada rakyat semakin membesar.
Mochammad tauchid berpendapat bahwa, sistem feodalisme saat itu merupakan satu bentuk perbudakan baik dalam arti ekonomi, politik, maupun sosial kultural. Tanah dikuasai raja, sementara rakyat hanya sebagai petani penggarap yang wajib menyerahkan sebagian hasilnya untuk kepentingan raja.
ABAD 17-18
Kolonialisme belanda diawali dengan kedatangan VOC sebagai perusahaan dagang. Sejak abad 17-18 VOC telah memikirkan bagaimana mengekploitasi sistem feodal yang telah berlaku di tanah jawa. Dalam beberapa periode krisis, VOC mampu melakukan perjanjian dengan kekuasaan tradisional (kerajaan banten dan mataram) hingga menggantikan posisi mereka sebagai tuan baru yang mempunyai hak klaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja dan pengumpulan pajak. Perluasan kekuasaan VOC ini menjadikannya sebagai sebuah teritorial state dari sekedar perusahaan dagang semata. Dirk Van Hogendorp yang berkuasa saat itu memberlakukan stelsel tanah pada tahun 1799. Ia berpendapat bahwa stelsel feodal yang terdapat di jawa mematikan segala kemauan usaha. Ia mencabut kekuasaan dan hak menguasai tanah dari para bupati dan menghendaki kebebasan menanam dengan sistem persewaan tanah dalam bentuk penggunaannya sebagai perkebunan partikelir. Ekonomi jawa abad 19 tidak kondusif pada pasar dan tingkat spesialisasi produksi yang relatif rendah menuntut perubahan struktur.
MASA DAENDELS
Terinspirasi oleh revolusi prancis, Herman Willem Daendels melaksanakan perombakan birokrasi di negeri jajahan. Daendels mencoba meniadakan kepentingan kerajaan dengan menurunkan simbol-simbol kebesaran kerajaan. Jika pada masa VOC formasi kenegaraan diisi oleh kepentingan ekonomi dan pengusaha, maka daendels mencoba memisahkan keduanya. Daendels menempatkan para bupati di jawa sebagai bagian dari kepegawaian administrasi belanda, bukan sebagai penguasa atau pemimpin masyarakat di daerahya masing-masing. Birokrasi adalah pranata modern dengan sistem penggajian. Dalam pelaksanannya, semangat pembaharuan daendels dengan metode kediktatoran ini lebih banyak membuahkan perlawanan ketimbang keberhasilan.
Rasionalisasi yang dijalankan dengan tangan besi oleh daendels ini mengakibatkan tersedotnya biaya yang tinggi, belum lagi untuk menggaji pegawai birokrasi. Maka yang terjadi kemudian adalah, daendels menjual tanah-tanah kepada pihak partikelir.
MASA RAFFLES
“land rent system” begitu sistem yang  mashur pada periode kepemimpinan Raffles. Raffles berkesimpulan bahwa status tanah dimiliki oleh pemerintah. Inilah yang disebut dengan domein theory yaitu teori tentang kepemilikan negara yang lahir dari hasil penyelidikan komisi yang dibentuk oleh raffles pada masanya. Ia menyatakan “ tanah setelah disurvei dan diukur akan diberikan kepada petani menurut proporsi yang adil. Kontrak diadakan antara petani dan pemerintah secara pribadi. Petani diharuskan membayar sejumlah uang sebagai bentuk sewa atau pajak kepada negara.
Sistem itu memberi dua arti:negara sebagai tuan tanah baru menggantikan penguasa tradisional sebelumnya; dan terbukanya aksebilitas tanah oleh siapapun yang mampu membayar uang sewa (pada kenyataannya juga membeli) pada negara.
Berdasarkan berbagai laporan para bupati, disimpulkan bahwa kebijakan itu memberi dampak pada kemajuan bidang pertanian, turunnya angka kejahatan, peningkatan produksi, perbaikan infrastruktur dan perluasan lahan garap.
Raffles juga menjual tanah dalam jumlah besar termasuk tanah-tanah yang telah lama didiami penduduk kepada pihak partikelir. Penjualan tersebut disertai pula dengan segenap peralihan hak feudal kepada perusahaan tersebut. (hak mengutip pajak dan pengerahan tenaga kerja di perkebunan). Era liberal telah dimulai dengan nyata. Ekonomi liberal raffles ditandai dengan regulasi pertanahan dalam rangka menghidupkan aset-aset yang mati sebab dikuasai dalam sistem feodal/adat.
REDEPOLITISASI BIROKRASI VAN DER CAPELLEN
Van Der Capellen meneruskan kebijakan sebelumnya, yakni menempatkan birokrasi sebagai pegawai negeri sipil dengan tugas mengumpulkan data statistik hampir semua aspek kehidupan ekonomi dan masyarakat. Pemerintahannya memperkenalkan kontrak penjualan produk langsung ke petani, dimana sebelumnya harus melalui pemuka desa. Gagasan ini memperlemah posisi elite lokal dan memperluas kemampuan petani terhadap pasar bebas. Van Der Capellen menerapkan kebijakan penjaminan kepada masyarakat jawa agar mereka dapat memetik hasil dari tanah mereka secara bebas, asal dengan jaminan membayar sewa tanah.
CULTUURSTELSEL (1830)
Johannes Van Den Bosch mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkankepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 har dalam setahun pada kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya, peraturan tersebut dapat dikatakan tidak berlaku karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada kolonial.wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan justru diharuskan bekerja setahun penuh.
EKONOMI LIBERAL (1870)
Pada masa ini, terdapat pertarungan dua pihak akan status keterlibatan pihak swasta di negara jajahan, apakah diperbolehkan untuk melakukan aktivitas ekonomi atau tetap pada sistem yang telah ada. Untuk memuaskan kedua belah pihak, pemerintah kolonial melakukan survei yang menitikberatkan pada beberapa pertanyaan penting yakni tentang hak pribumi atas tanah, kepemilikan individu atau komunal, darimana sumber hak tersebut, jaminan dalam mempertahankan hak, berlaku tidaknya suatu hak, pemindahtanganan hak yang kesemuanya ini memberi kaitan pada bentuk dan pemerintahan desa.
Pada tahun 1870 Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) berhasil dilahirkan. Ini semacam kemenangan dari pihak liberal. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak milik pribadi.
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam  Agrarische Wet  tahun 1870 untuk Jawa dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal 1 menyatakan : 
“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”.
Penafsiran atas Agrarische besluit ini ditafsirkan berbeda-beda oleh beberapa sarjana. Misalnya, dalam hukum adat, diakui bahwa desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah kekuasaan negara.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu, seperti, hak  eigendom (hak milik); opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain); dan  erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan lain-lain. Disamping hak-hak yang diundangkan tersebut, hak-hak adat terus berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk memungut hasil hutan, hak pakai, hak gadai dan hak sewa.
ORDE LAMA
Dualisme hukum pertanahan pada masa kolonialisme yang dimulai sejak era liberal diperdebatkan pasca kemerdekaan. Dualisme yang dimaksud adalah dualisme antara hukum adat dengan hukum barat. Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk yang menyadari pentingnya pengaturan mengenai pertanahan termasuk  pendaftaran tanah yang harus dituangkan dalam suatu undang-undang.
Namun, baru pada tahun 1960 terbit Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Bersamaan dengan terbitnya UUPA No. 5 tahun 1960 tersebut, diatur mengenai kepemilikan tanah untuk rakyat dengan luasan minimum dua hektar dan luasan maksimum dilihat berdasarkan penggunaan tanah dan perhitungan kepadatan agraris.
Terbitnya UUPA ini menjadi jalan bagi pemerataan tanah untuk rakyat, namun dalam pelaksanaannya kemudian mengalami berbagai macam hambatan. Kudeta politik lima tahun kemudian mengharuskan Soekarno untuk mundur dari kursi kepresidenan serta menandai bergantinya orde dan kepemimpinan.
ORDE BARU
Soeharto muncul sebagai presiden pada masa orde baru. Karakteristik orde baru bertolak belakang dengan orde sebelumnya. Sehingga pengambilan kebijakan agraria pun tidak sejalan. Pelaksanaan UUPA mengalami hambatan. Sejak ketetapan MPRS No. XXIII/ MPRS/ tahun 1966. Produk UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing membuka jalan bagi para investor luar dalam mengelola sumber daya Indonesia. Didukung pula oleh UU No. 5 Tahun 1967 tentang pokok kehutanan. Ada pula dikeluarkan PP No. 21 tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Ini menandakan bahwa kebijakan pada masa orde baru identik dengan padat modal dengan pengerukan pada sumber daya alam dengan skala besar.
Pada tahun 1981 dikeluarkan Kepres No. 49 / 1981 mengenai kontrak pengusahaan batubara generasi 1 atau yang lebih dikenal sebagai perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Saat itu di Kalimantan Selatan terdapat 3 perusahaan yakni PT. Arutmin, PT Adaro dan PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut izinnya). Pada tahun 1993, melalui kebijakan Keppres No. 21 / 1993 iin PKP2B bertambah yang terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara.
ORDE REFORMASI
Runtuhnya rezim Soeharto menandai berakhirnya orde baru dan dimulainya babak baru dalam khazanah keindonesiaan. Namun, semangat reformasi agraria yang terkandung dalam UUPA masih berlarut-larut dan tidak optimal dijalankan.
Melalui UU Minerba No 4 tahun 2009 telah mengubah sistem perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Awalnya perizinan diberikan dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP), kontrak karya, atau PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Demikian pula mekanisme untuk memperoleh perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara, semula dengan mekanisme pencadangan wilayah untuk seluruh bahan galian berubah menjadi mekanisme IUP diterbitkan pada wilayah izin usaha pertambangan dengan cara lelang, kecuali untuk mineral bukan logam dan batuan dengan mekanisme permohonan wilayah.
Desentralisasi menggaung di masa ini. desentralisasi terutama menyangkut pembagian wewenang dan keuntungan hasil sumber daya alam. Pada masa ini daerah diperbolehkan mengeluarkan izin kuasa pertambangan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat.
2012 merupakan awal dari tahun perkebunan kelapa sawit. Indonesia merangkak naik ke posisi satu eksportir minyak kelapa sawit. Produk kebijakan pemerintah banyak bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat.
Dirangkum dari :
  1. Sejarah Pemikiran Agraria Karya Ahmad Nashih Lutfhi
  2. INDONESIA : HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN Karya Erman Rajagukguk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar