Mereka mencari dimana batas itu akan tertemui. Dan memang,
ia tak akan pernah menemukannya. Mereka tau itu. akan tetapi, mereka selalu
saja meneruskan perjalanan ini. karena mengapa? Di setiap perjalanan itu mereka
selalu menemui sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat mereka tidak cepat
bosan. Karena setiap saat lingkungan selalu saja berubah.
Namun, bukan berarti mereka tanpa nilai. Mereka tetap punya
kampung halaman atau tanah ibu yang selalu membuat mereka ingin pulang. Inilah
titik dimana perjalanan itu akan bermuara, pada siapapun ia. Di tengah riuhnya
keramaian kultur orang-orang di tanah kelahiran orang, ia meringkuk ingin
pulang. Hanya saja, terkadang mereka bisa mencari siasat agar tidak terjebak
terlalu lama dalam keadaan tersebut.
Saya teringat, gola gong. Seorang traveller, jurnalis
sekaligus penulis itu berkata bahwa “lelaki memang mesti pergi, tetapi ia juga
harus pulang”. Ia pun mengakui bahwa kita tidak selamanya berada pada kebebasan
di tanah orang lain, berpindah-pindah. Selalu saja terbesit kenangan akan
keluarga dan suasan rumah yang hangat dan penuh kasih.
Menjadi seorang traveller tidak lantas menghilangkan jati
diri kelahirannya. Ia mesti melekatkan identitasnya terlebih dahulu sebelum
berinteraksi dengan orang lain. Ini artinya, mereka membawa sebuah misi
pertukaran informasi sebuah kultur. Ini penting, dalam rangka membangun
kebersamaan diantara semua manusia. bukankah kita tidak bisa langsung mendikte
kultur suatu kaum itu jelek ketika kita belum memaknainya secara langsung dari
kaum tersebut. Pun, pada akhirnya penilaian sebuah kultur itu berlainan dengan
apa yang kita yakini. Toh, disini kita perlu menghargai apa yang dimiliki oleh
mereka. bukankah apa yang kita yakini memiliki kemungkinan benar dan salahnya?
Dan apa yang mereka yakini pun memiliki kemungkinan benar dan salahnya pula?
Ini tentu bukan bermaksud mengakhirinya dengan sebuah perdebatan benar dan
salah. Akan tetapi bagaimana kita dan mereka menjalaninya dengan penuh
kesadaran sebagai seorang manusia. cara kita memberi penghargaan terhadap cara
seorang manusia dalam memaknai hidupnya adalah satu bentuk dari penghargaan
terhadap kebenaran itu sendiri.
Di setiap perjalanan dibenak kita selalu saja melakukan
perbandingan baik itu dalam ranah kultur, sosial, maupun ekonomi. Perbandingan
tersebut, bisa dengan kampung halaman kita sendiri atau kampung yang pernah
kita kenal. Pertanyaan awal, kenapa kita membandingkan? Membanding itu bisa
berupa kegiatan mencari titik beda dari dua atau lebih sesuatu. Kenapa kita
mencari titik beda? Mungkin saja ia adalah cara bagi kita untuk
mengklasifikasikan sesuatu. Kenapa kita selalu mengklasifikasikan sesuatu?
Mungkin saja ia merupakan cara bagi kita untuk mencari yang mendekati benar
menurut akal kita.
Bila ujung pencarian kita adalah mencari sesuatu yang benar
tanpa melihat kondisi bahwa di setiap akal yang lain, juga terdapat potensi
benar, ia berbahaya karena ia mesti
berujung pada pembenaran di satu pihak, yaitu dirinya sendiri. Ini tidak cocok
bagi mereka yang ingin menjadi seorang traveller. Aku jadi teringat, “dimana
bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Ini kalimat bijak yang sarat akan pesan
perdamaian bahkan sebelum pertikaian itu hadir.
Perjalanan kita akan terasa indah jika kemudian pesan
terakhir tadi kita junjung smebari kita berpikir bahwa pembeda kultur itu tidak
menjamin semuanya akan selalu berbeda dan terpisah. Kebersatuan dalamperbedaan
itu melekat pada nilai-nilai universalnya. Dan tentu, kita juga mesti pulang.
Pulang bukan untuk menjadi berlawanan,pulang untuk menggali lagi identitas kita
yang menguap selama perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar