Selasa, 05 Juni 2012

menjadi penjelajah


Mereka mencari dimana batas itu akan tertemui. Dan memang, ia tak akan pernah menemukannya. Mereka tau itu. akan tetapi, mereka selalu saja meneruskan perjalanan ini. karena mengapa? Di setiap perjalanan itu mereka selalu menemui sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat mereka tidak cepat bosan. Karena setiap saat lingkungan selalu saja berubah.
Namun, bukan berarti mereka tanpa nilai. Mereka tetap punya kampung halaman atau tanah ibu yang selalu membuat mereka ingin pulang. Inilah titik dimana perjalanan itu akan bermuara, pada siapapun ia. Di tengah riuhnya keramaian kultur orang-orang di tanah kelahiran orang, ia meringkuk ingin pulang. Hanya saja, terkadang mereka bisa mencari siasat agar tidak terjebak terlalu lama dalam keadaan tersebut.
Saya teringat, gola gong. Seorang traveller, jurnalis sekaligus penulis itu berkata bahwa “lelaki memang mesti pergi, tetapi ia juga harus pulang”. Ia pun mengakui bahwa kita tidak selamanya berada pada kebebasan di tanah orang lain, berpindah-pindah. Selalu saja terbesit kenangan akan keluarga dan suasan rumah yang hangat dan penuh kasih.
Menjadi seorang traveller tidak lantas menghilangkan jati diri kelahirannya. Ia mesti melekatkan identitasnya terlebih dahulu sebelum berinteraksi dengan orang lain. Ini artinya, mereka membawa sebuah misi pertukaran informasi sebuah kultur. Ini penting, dalam rangka membangun kebersamaan diantara semua manusia. bukankah kita tidak bisa langsung mendikte kultur suatu kaum itu jelek ketika kita belum memaknainya secara langsung dari kaum tersebut. Pun, pada akhirnya penilaian sebuah kultur itu berlainan dengan apa yang kita yakini. Toh, disini kita perlu menghargai apa yang dimiliki oleh mereka. bukankah apa yang kita yakini memiliki kemungkinan benar dan salahnya? Dan apa yang mereka yakini pun memiliki kemungkinan benar dan salahnya pula? Ini tentu bukan bermaksud mengakhirinya dengan sebuah perdebatan benar dan salah. Akan tetapi bagaimana kita dan mereka menjalaninya dengan penuh kesadaran sebagai seorang manusia. cara kita memberi penghargaan terhadap cara seorang manusia dalam memaknai hidupnya adalah satu bentuk dari penghargaan terhadap kebenaran itu sendiri.
Di setiap perjalanan dibenak kita selalu saja melakukan perbandingan baik itu dalam ranah kultur, sosial, maupun ekonomi. Perbandingan tersebut, bisa dengan kampung halaman kita sendiri atau kampung yang pernah kita kenal. Pertanyaan awal, kenapa kita membandingkan? Membanding itu bisa berupa kegiatan mencari titik beda dari dua atau lebih sesuatu. Kenapa kita mencari titik beda? Mungkin saja ia adalah cara bagi kita untuk mengklasifikasikan sesuatu. Kenapa kita selalu mengklasifikasikan sesuatu? Mungkin saja ia merupakan cara bagi kita untuk mencari yang mendekati benar menurut akal kita.
Bila ujung pencarian kita adalah mencari sesuatu yang benar tanpa melihat kondisi bahwa di setiap akal yang lain, juga terdapat potensi benar,  ia berbahaya karena ia mesti berujung pada pembenaran di satu pihak, yaitu dirinya sendiri. Ini tidak cocok bagi mereka yang ingin menjadi seorang traveller. Aku jadi teringat, “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Ini kalimat bijak yang sarat akan pesan perdamaian bahkan sebelum pertikaian itu hadir.
Perjalanan kita akan terasa indah jika kemudian pesan terakhir tadi kita junjung smebari kita berpikir bahwa pembeda kultur itu tidak menjamin semuanya akan selalu berbeda dan terpisah. Kebersatuan dalamperbedaan itu melekat pada nilai-nilai universalnya. Dan tentu, kita juga mesti pulang. Pulang bukan untuk menjadi berlawanan,pulang untuk menggali lagi identitas kita yang menguap selama perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar