Tata ruang dan aspek
kebencanaan
Keruangan wilayah, aktivitas ekspoitasi sumber daya alam dan
bencana ekologis merupakan serangkaian fenomena yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya. ketika alam diperlakukan dengan menempatkan alam sebagai subjek
dari kehidupan, maka alam akan merespon dengan segala pelayanannya kepada
manusia. Begitu pula sebaliknya, ketika tanah dipandang sebagai komoditas
ekonomi maka akan terjadi guncangan-guncangan sosial kultural serta perubahan
siklus ekologis alam.
Pada masyarakat lokal, tanah diperlakukan sebagai modal
dasar dalam membangun basis pertanian dengan mengandalkan pelayanan alam. Tanah
dimaknai layaknya ibu, bahwa tanah telah ada semenjak lahir hingga liang lahat.
Filosofi tanah seperti ini membuat mereka memperlakukan tanah dengan
perhitungan jangka panjang agar tidak terjadi kerusakan ekologis.
Pola pertanian yang awalnya menggunakan sistem pertanian
jangka panjang tiba-tiba berubah semenjak datangnya perusahaan dengan membawa
serta modal yang besar yang sebisa mungkin untuk melakukan eksploitasi di tanah
tersebut.
Aktivitas pertambangan dan pertanian dengan sistem jangka
pendek dan cenderung menghomogenisasi jenis tanaman sesuai tuntutan pasar
membuat perubahan disana-sini. Bencana
ekologis, perubahan gejala sosial, ekonomi dan budaya turut menyertai beserta dengan
aktivitas eksploitasi tambang dan perkebunan berskala luas.
Kepentingan pasar global yang dipegang kalangan kapitalistik
itu berbenturan dengan keberadaan masyarakat lokal. Berbagai pendekatan seringkali
kita dengar baik itu dengan cara legal yaitu misal dengan menitipkan pesan
kepada penguasa setempat agar membuka keran investasi dari luar. kriminalisasi
oleh aparat negara kepada masyarakat adat, misal dengan menstigmatisasi
masyarakat adat sebagai pengrusak hutan, penjarah kayu, dll. Atau dengan cara
illegal yaitu dengan melakukan pendekatan kepada penguasa lahan setempat yang
seringkali menggunakan cara-cara premanisme untuk membungkam protes masyarakat.
Namun, masalah tidak hanya sebatas pada politik penguasaan
tanah. Akan tetapi, perhitungan aspek kebencanaan juga seringkali membuat
masyarakat asli yang berada di wilayah eksploitasi ikut mendapatkan dampak dari
perubahan alam.
Misal begini, pegunungan meratus kita ketahui adalah kawasan
hulu dari beberapa daerah aliran sungai yang ada di kalimantan selatan. Sebagai
kawasan hulu, tentu kawasan meratus perlu daerah resapan yang terjaga secara
ekologis. Ini perlu agar, keseimbangan siklus air di kawasan hilir akan stabil.
Banyak masyarakat meyakini bahwa aktivitas pertambangan di
kawasan meratus mengurangi kawasan resapan air sehingga air yang dialirkan ke
hulu menjadi terlalu besar ke kawasan hilir. Banjir yang hampir tiap tahun
dirasakan oleh masyarakat di pinggir sungai martapura, maupun di kawasan tanah
bumbu tidak bisa dihindarkan.
Analisa kajian lingkungan yang menyeluruh mengenai kawasan
meratus terutama yang menjadi hulu dari beberapa DAS perlu dilakukan. Jangan
sampai, analisa kajian lingkungan yang parsial pada beberapa kawasan tambang
itu justru dimanipulasi agar memenuhi prasyarat ekspolitasi tambang. Lebih
jauh, sidang amdal justru dan wajib hukumnya melibatkan masyarakat setempat
serta pihak-pihak yang kredibel, dipercaya, serta memiliki prinsip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar