Senin, 18 Juni 2012

ruang


Tata ruang dan aspek kebencanaan
Keruangan wilayah, aktivitas ekspoitasi sumber daya alam dan bencana ekologis merupakan serangkaian fenomena yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. ketika alam diperlakukan dengan menempatkan alam sebagai subjek dari kehidupan, maka alam akan merespon dengan segala pelayanannya kepada manusia. Begitu pula sebaliknya, ketika tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi maka akan terjadi guncangan-guncangan sosial kultural serta perubahan siklus ekologis alam.
Pada masyarakat lokal, tanah diperlakukan sebagai modal dasar dalam membangun basis pertanian dengan mengandalkan pelayanan alam. Tanah dimaknai layaknya ibu, bahwa tanah telah ada semenjak lahir hingga liang lahat. Filosofi tanah seperti ini membuat mereka memperlakukan tanah dengan perhitungan jangka panjang agar tidak terjadi kerusakan ekologis.
Pola pertanian yang awalnya menggunakan sistem pertanian jangka panjang tiba-tiba berubah semenjak datangnya perusahaan dengan membawa serta modal yang besar yang sebisa mungkin untuk melakukan eksploitasi di tanah tersebut.
Aktivitas pertambangan dan pertanian dengan sistem jangka pendek dan cenderung menghomogenisasi jenis tanaman sesuai tuntutan pasar membuat perubahan disana-sini.  Bencana ekologis, perubahan gejala sosial, ekonomi dan budaya turut menyertai beserta dengan aktivitas eksploitasi tambang dan perkebunan berskala luas.
Kepentingan pasar global yang dipegang kalangan kapitalistik itu berbenturan dengan keberadaan masyarakat lokal. Berbagai pendekatan seringkali kita dengar baik itu dengan cara legal yaitu misal dengan menitipkan pesan kepada penguasa setempat agar membuka keran investasi dari luar. kriminalisasi oleh aparat negara kepada masyarakat adat, misal dengan menstigmatisasi masyarakat adat sebagai pengrusak hutan, penjarah kayu, dll. Atau dengan cara illegal yaitu dengan melakukan pendekatan kepada penguasa lahan setempat yang seringkali menggunakan cara-cara premanisme untuk membungkam protes masyarakat.
Namun, masalah tidak hanya sebatas pada politik penguasaan tanah. Akan tetapi, perhitungan aspek kebencanaan juga seringkali membuat masyarakat asli yang berada di wilayah eksploitasi ikut mendapatkan dampak dari perubahan alam.
Misal begini, pegunungan meratus kita ketahui adalah kawasan hulu dari beberapa daerah aliran sungai yang ada di kalimantan selatan. Sebagai kawasan hulu, tentu kawasan meratus perlu daerah resapan yang terjaga secara ekologis. Ini perlu agar, keseimbangan siklus air di kawasan hilir akan stabil.
Banyak masyarakat meyakini bahwa aktivitas pertambangan di kawasan meratus mengurangi kawasan resapan air sehingga air yang dialirkan ke hulu menjadi terlalu besar ke kawasan hilir. Banjir yang hampir tiap tahun dirasakan oleh masyarakat di pinggir sungai martapura, maupun di kawasan tanah bumbu tidak bisa dihindarkan.
Analisa kajian lingkungan yang menyeluruh mengenai kawasan meratus terutama yang menjadi hulu dari beberapa DAS perlu dilakukan. Jangan sampai, analisa kajian lingkungan yang parsial pada beberapa kawasan tambang itu justru dimanipulasi agar memenuhi prasyarat ekspolitasi tambang. Lebih jauh, sidang amdal justru dan wajib hukumnya melibatkan masyarakat setempat serta pihak-pihak yang kredibel, dipercaya, serta memiliki prinsip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar