Oleh : Muhammad Arsyad
“Pemerintah menganggap
tanah ini tanah negara? Bukan, ini tanah Tuhan. Disuguhi berapapun duitpun, aku
menolak perusahaan-perusahan itu. tanah adalah warisan karena aku tahu aku
tidak akan hidup selamanya”
Begitu yakin Amang Aspul berucap di suatu siang desa handil
birayang atas. Lelaki berusia 46 tahun ini begitu kukuh dengan pendiriannya
untuk tidak akan menyetujui pembukaan lahan di desa handil birayang atas
sebagai kebun kelapa sawit.
Konflik parsial akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit seakan
dibiarkan saja berulang terjadi. Menurut
data Walhi Kalsel, sudah lebih dari lima wilayah perkebunan kelapa sawit yang
bermasalah dengan masyarakat sekitar.
Padahal, jika kita berbicara dalam skala nasional, sektor
perkebunan kelapa sawit dewasa ini justru tumbuh menjadi industri perkebunan
nomor wahid di Indonesia. Krisis pangan dan energi dunia seakan dijawab oleh
Indonesia sebagai eksportir utama untuk sektor kelapa sawit.
Perubahan orientasi ekonomi nasional dari mayoritas padi
menuju kelapa sawit menuntut perubahan-perubahan yang radikal pada dimensi
sosial, ekonomi, dan budaya. Muncullah kemudian pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana
proses peralihan status tanah dalam menghadapi peralihan fungsi lahan sebagai
kebun kelapa sawit? bagaimana peralihan pelaku utama ini mengerucut pada perusahaan-perusahaan
besar transnasional? Bagaimana pengelolaan tata ruang agar mencerabut hak dari
rakyat? Dll.
Berikut ini adalah satu contoh dimana perubahan itu ternyata
tidak selalu mulus. Perubahan global yang dibawa perusahaan perkebunan kelapa
sawit menuntut pada perubahan status tanah yang awalnya ruang hidup menjadi
land market, perubahan hak masyarakat akan tanah, perubahan status pekerjaan sebagian
masyarakat, dominasi perusahaan pada dimensi sosial masyarakat sekitar,
kekhawatiran masyarakat pada dampak ekologis kelapa sawit, dll. Ini adalah
tentang silang sengkarutnya globalisasi berwajah bisnis agrikultur di tangan perusahaan
besar dengan lokalitas yang agrikultur pula yang berada di tangan petani lokal.
Semua ini bermula pada bagaimana pengelolaan tanah serta
keruangannya.
Mengenai Desa Handil
Birayang Atas
Secara administratif, desa handil birayang atas terletak di
kecamatan bumi makmur kabupaten tanah laut.
Desa ini satu jalur handil dengan desa handil birayang bawah. Secara geografis
keduanya sama-sama berdampingan dengan areal persawahan dan hutan rawa yang
ditumbuhi pohon galam. Dari banjarbaru, kami perlu waktu tempuh 50 menit dengan
menggunakan kendaraan roda dua.
Sesuai nama yang melekat padanya, handil birayang atas
terurai menjadi beberapa maksud. Handil dalam pemaknaan orang banjar adalah
jalan yang mengiringi aliran sungai kecil (tanggul). Sementara nama birayang,
ujar lamsi selaku tetuha kampung, diadopsi dari nama kecamatan birayang di hulu
sungai tengah karena mayoritas masyarakat saat itu berasal dari daerah
tersebut. Sementara nama atas adalah maksud untuk membagi wilayah dengan desa
tetangga yaitu handil birayang bawah yang dibagi mengikuti aliran air sungai.
Kendati secara penamaan memaksudkan bahwa ada keterkaitan
geografis dengan birayang di hulu sungai tengah, namun masyarakatnya tidak
melulu dari daerah tersebut. Mereka mengalami pembauran dengan lingkungan yang
baru.
Masyarakat handil birayang atas terhitung lama menghuni
wilayah yang sebagian besar adalah daerah rawa tersebut. Sebelum indonesia
merdeka, nenek moyang mereka sudah berkoloni dan membentuk suatu sistem
masyarakat baru dan hingga hari ini secara administratif dikenal sebagai handil
birayang atas.
Kepada apa mereka selama ini menggantungkan hidup? Masyarakat
handil birayang atas mayoritas berprofesi sebagai petani padi, pencari kayu
galam serta mencari ikan. Mata pencaharian mereka sangat bergantung pada
kondisi alam di sekitarnya. Untuk itulah, lamsi menganggap bahwa tanah sebagai
pondasi kebergantungan hidup utama yang diberikan oleh tuhan, justru tidak
tergantikan oleh apapun, termasuk uang.
Hal lain yang menarik adalah, ketika berbicara tentang pola
mereka menebang pohon galam. Pohon galam dipakai untuk kayu bakar serta dijual
kepada pengumpul. Sedemikian luas hutan rawa galam ini dikelola dengan
penebangan berpindah. Ketika satu lokasi hutan galam ditebang dalam satu tahun,
mereka akan berpindah ke lokasi yang lain dan akan membiarkan hutan galam yang
ditebang tadi tumbuh kembali untuk beberapa tahun kemudian. Sampai pada
beberapa tahun berikutnya mereka akan kembali dan pohon galam tersebut telah
besar kembali. Pola seperti ini mirip dengan pola pertanian ladang berpindah
yang banyak ditemui di pegunungan meratus.
Begitulah, berpuluh tahun berproses. Hingga hari ini,
walaupun secara sosio-kultural, mereka sudah turun temurun menggarap lahan.
Namun, secara legal formal, mereka belum mempunyai hak milik tanah. Ketidaktegasan
pemerintah seperti dalam pengelolaan keruangan ini menimbulkan masalah.
Ekspansi kelapa sawit datang jor-joran menggunakan lahan luas yang banyak
menyimpan air.
Ketidakjelasan tata
ruang wilayah
Seluas tanah di desa handil birayang atas bila dipandang dari
segi hukum formal kenegaraan, masyarakat lokal bisa dibilang punya kedudukan
yang lemah. Mengapa? Karena masyarakat lokal tidak mengantongi hak milik
sebagai hak kuasa atas tanah yang paling kuat secara hukum kenegaraan.
Meskipun demikian, satu catatan penting bahwa secara sosio
kultural, masyarakat lokal punya hak akan tanah. Berpuluh-puluh tahun masyarakat
lokal memperlakukan tanah sedemikian sehingga fungsi ekologis dan sosial tetap
utuh hingga sekarang cukup membuktikan bahwa tanah sebagai pondasi dasar
ekonomi tidak mengguncang dimensi sosial yang berlaku pada masyarakat sekitar.
DI dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 6 disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dari butir UU tersebut sudah jelas bahwa hak atas tanah lebih mendahulukan
fungsi sosial yang terbangun diatasnya. Maka ketika terjadi peralihan hak yang
demikian frontal sehingga mengorbankan pihak yang dirugikan (apalagi dalam hal
ini masyarakat lokal yang dirugikan), maka artinya fungsi sosial sebagai
akibatnya juga telah berubah dalam pengertian semakin rusak.
Pada kenyataannya, hutan rawa di desa handil birayang atas yang
sangat luas itu justru dianggap oleh pemerintah sebagai tanah terlantar. Amang Aspul,
salah seorang warg desa mempertanyakan penetapan status tersebut. Ia menganggap
bahwa pencatutan pemerintah secara sepihak atas hutan rawa galam sebagai tanah
terlantar tidak melihat kondisi warga di sekitarnya. Padahal sehari-harinya,
masyarakat lokal mengandalkan galam yang tumbuh liar disana sebagai mata
pencaharian utama.
Amang Aspul yang juga menolak ekspansi kelapa sawit PT KJW
ini mengkawatirkan akan terjadinya kerusakan struktur ekologis yang merembet ke
hutan rawa galam. “aku khawatir jika perusahaan sawit masuk, galam sulit
tumbuh, ikan sulit didapat, pengairan sawah tidak lancar”, cecarnya.
Sementara, perusahaan yang lebih dulu mengantongi izin
penggarapan dari pemerintah kabupaten tanah laut melakukan penawaran ganti rugi
kepada masyarakat. Tarik ulur masyarakat lokal dengan perusahaan pun terjadi.
Ada masyarakat yang menerima dan ada yang kukuh menolak pembukaan lahan ini.
Berbagai kesepakatan pun terus dilakukan. Namun, selama
menjalani kesepakatan. Syaiful Rahman, warga rt 5 memandang bahwa telah
beberapa kali pihak perusahaan ingkar. Misalnya, masalah penentuan tapal batas
kebun kelapa sawit dengan lahan masyarakat. “awalnya di kesepakatan tertera
bahwa batas kebun dengan lahan warga adalah dua puluh meter dari tanggul.
Kenyataannya sekarang hanya sekitar empat-hingga lima depa saja dari tanggul”
ujarnya. Dirinya menambahkan bahwa masyarakat akan semakin tak percaya jika
perusahaan tetap saja melanggar kesepatakan yang telah dibuat sebelumnya.
Ketidakjelasan tata ruang wilayah dewasa ini justru
mengorbankan masyarakat lokal. Keterdesakan itu tercermin berulang-ulang dari
banyak kasus agraria, seperti halnya yang terjadi di desa handil birayang atas.
Premanisme terhadap
masyarakat
Urun rembug di suatu malam di desa handil birayang atas
tiba-tiba pecah oleh hentakan alas kaki dari beberapa lelaki. “mereka masuk ke rumah tanpa melepas alas
kaki, begitukah cara bertamu?”, ujar lasmi, menjelaskan kejadian itu kepada
kru merah putih.
Malam itu, di rumah lasmi yang juga ketua Rt 6, mereka berkumpul
dan berbincang-bincang tentang kondisi tanah di desa mereka.
Achmad Rozani, aktivis wahana lingkungan hidup yang melakukan
pendampingan advokasi masyarakat handil birayang atas terlihat shock. Untuk
kali pertama ia mendapatkan daya setrum di bagian dada. Ia duduk lesehan di
rumah seorang warga yang sedang musyawarah. Derap langkah kaki begitu cepat
datang dan raungan parang dimana-mana. Ucok (begitu ia biasa disapa) dan
seorang kawannya dianggap tidak menyampaikan izin menginap di desa itu. para
pemuda itu mengancam akan melakukan tindakan bila ia tidak segera hengkang. Hingga
secara tidak terduga, seorang pemuda menancapkan setrum hingga tidak berapa
lama, ada yang melerai.
Begitulah Lasmi menceritakan malam yang kurang beruntung
bagi ucok itu. “padahal menginap di suatu
wilayah tidak perlu lapor kepala desa, cukup dengan ketua RT. Dan itu sudah
dilakukan” sambung lelaki berusia kurang lebih 70 tahun ini.
Syaiful rahman mengakui bahwa selama ini, warga yang menolak
ekspansi perkebunan kelapa sawit kerapkali mendapatkan intimidasi dan ancaman,
baik secara langsung maupun melalui pesan singkat di handphone. “karena itulah,
banyak juga warga yang takut karena intimidasi dan akhirnya secara terpaksa
menjual kepada perusahaan” ujarnya.
Mereka tidak melakukan perlawanan secara frontal. syaiful rahman
memahami bahwa jika anarkisme yang mencuat di aparat kepolisian, justru efek
negatifnya nanti ada di masyarakat lagi. Masyarakat nanti yang dianggap aparat
melakukan perbuatan onar.
Lantas, apakah aparat kepolisian mengetahui atas intimidasi
ini? Aspul mengaku bahwa aparat mengetahui namun terkesan tidak tahu. “ketika
aku tanya, memihak mana, preman atau masyarakat yang menolak? Seorang polisi hanya
menjawab bahwa ia bertugas menjaga keamanan”, cetus aspul, menjelaskan saat ia
bertanya kepada salah seorang polisi. Aspul tak berharap banyak kasus intimidasi
ini diproses secara hukum. Ia tidak lagi berharap banyak pada aparat
kepolisian.
Antara tanah dan duit
“sebagai seorang
manusia, aku kada munafik untuk perlu duit, namun duit bagiku bukanlah ukuran.
Justru bagaimana kita memikirkan anak cucu kita nanti, dan sebagai rasa terima
kasih kepada alam yang selalu melimpahkan sumber dayanya. Maka itu aku menolak
mereka (perusahaan) dengan bulat, walau diiming-imingi duit sebanyak apapun”
Keras sikap Amang Aspul ini bukan tanpa alasan. Ia mempertegas
pernyataan yang disampaikan lasmi bahwa dengan profesi masyarakat yang
mengandalkan alam sepenuhnya, masyarakat harus menjaga tanah tersebut demi
pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang, bukan keinginan sesaat dengan memilih
jalan yang singkat. Ia memandang bahwa tanah didesa tersebut, jika
dipindahfungsikan sebagai lahan kelapa sawit, akan merubah struktur ekologi
yang ada disana dan menutup akses perekonomian masyarakat di kemudian hari.
Dirinya mengakui bahwa dengan menjadi petani dan pencari
kayu galam, dirinya sudah merasa terpenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia
mengasumsikan jika dalam setiap hari dirinya mampu satu kali membawa kayu galam
dengan ukuran satu reet, ia bisa mengantongi uang sebesar 60 ribu rupiah.
Sementara, jika dalam kondisi bugar dan rajin, ia mengaku dalam sehari bisa dua
kali mengambil kayu galam di hutan rawa.
Lantas, ia mengaku tidak punya alasan untuk menerima
perusahaan itu. “aku sudah merasa cukup
dengan menjadi tukang kayu. Walau harus dipandang sebagai pekerjaan rendah dan capek
bekerja sehari-hari, aku menikmati proses ini”
Di lain pihak, masyarakat yang “menjual” tanah kepada
perusahaan ditengarai didasari atas berbagai motif. Ada yang secara terpaksa melepas
karena mengalami tekanan untuk harus “menjual”
dan ada pula yang memang tergiur
oleh bayaran dan janji perusahaan. Kata menjual diberi tanda kutipan karena
menjual adalah pemakian kata dari syaiful. Dalam istilah yang lain ganti rugi
pemakaian kawasan lahan.
Perbedaan cara pandang atas bagaimana kita memperlakukan tanah
mulai berkembang sejak rencana pembukaan lahan kelapa sawit di daerah tersebut.
Tanah, pada awalnya berada pada konteks tenurial, keadaan dimana tanah garapan dimanfaatkan
langsung oleh si penggarap (masyarakat lokal). pada konteks tersebut, tanah
dipandang sebagai ruang hidup dimana keberlangsungan alam sehari-harinya.
Sistem kepemilikan tanah tidak begitu menjadi perhatian
masyarakat. Baru semenjak kedatangan PT. KJW, masyarakat mulai menyadari bahwa
status hukum atas tanah itu penting agar posisi secara hukum atas tanah lebih
kuat.
Sistem kepemilikan tanah pertanian padi berdasarkan pada hak
waris, maupun jual beli. Sementara sistem kepemilikan lahan rawa berada di
wilayah administratif desa handil birayang atas yang dimanfaat secara komunal
oleh warga desa. Tidak ada hak kepemilikan atas lahan rawa yang ditanami galam
tersebut.
Menyadari posisi lemah mereka secara legal formal. Ke depan,
sebagian masyarakat yang melakukan penolakan perkebunan kelapa sawit membuat
sporadik dan mengajukan sertifikasi kepemilikan tanah ke BPN Tanah Laut.
Besaran lahan yang rencananya disertifikasi adalah 2 hektar per kepala
keluarga. Mereka khawatir, ekspansi kelapa sawit melanggar batas wilayah sesuai
kesepakatan sehingga mereka merasa perlu untuk melegalkan tanah mereka di mata
hukum negara.
Sementara, bagi masyarakat yang menjual lahan kepada
perusahaan justru menanggung konsekuensi untuk tidak lagi boleh mengambil kayu
galam dari lahan rawa sehingga satu mata pencaharian sebagai pencari kayu lepas
sudah.
Bertahan atau berhenti menjadi tukang kayu adalah
konsekuensi dari pilihan masing-masing masyarakat.Amang Aspul berujar “pihak kami bersyukur karena kami bisa mencari kayu galam terus
menerus, bebas dari jeratan kesepakatan dan kami pun terus bekerja”
Politik pemilihan
kepala desa
Menurut Sutardjo kartohadikusumo, desa adalah suatu
kesatauan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri. Demikian desa berhak untuk memilih, mengangkat
dan menyelenggarakan pemerintahan desa secara otonom.
Polemik pemilihan kepala desa seringkali dapat kita jumpai
pada desa dengan kategori “lahan basah”. Mana-mana saja desa yang dianggap
sebagai daerah kaya akan rentan terhadap saling silang pemilihan kepala desa.
Di desa yang potensial ekspolitasi sumber daya alamnya
besar, proses pemilihan kepala desa yang dikata demokratis ini bisa menjadi
arena kapitalisme menancapkan kuasanya. Mengapa? Karena kepala desa mempunyai peran
strategis dalam pengambilan kebijakan desa.
Di tempat pemungutan suara, janji-janji program kerja
terpampang. Semua masyarakat yang cukup syarat mendapatkan hak pilih. Kalangan
yang termarjinalkan pun punya kesempatan untuk merubah jalan arah kebijakan
desa. Suara dan pilihan masyarakat dihargai, walaupun secara kuantitatif, bukan
dengan kualitas suara yang diberikannya.
Kepala desa handil birayang atas baru saja berganti yang
dipilih melalui pemilihan umum. Polemik pemilihan kepala desa di handil
birayang atas semakin mencuat ketika persepsi masyarakat pada keberadaan perkebunan
kelapa sawit terbagi dua. Di tengah keterbelahan persepsi masyarakat terhadap
ekspansi perkebunan kelapa sawit, kepala desa bisa saja berperan dalam upaya
memuluskan jalan legalitas keberadaan perusahaan. Namun, kepala desa juga bisa
berperan dalam melakukan gerakan pengaturan kepemilikan, pengelolaan tanah
menuju harkat martabat desa it sendiri.
Syaiful Rahman termasuk salah satu calon kepala desa saat
itu, ia akhirnya kalah bertarung. Ia mengatakan bahwa tarik menarik kepentingan
perusahaan sangat jelas terlihat dalam pemilihan kepala desa. Perusahaan dengan
kuasa modal memberikan perlakuan berlebih kepada calon kepala desa. Misal,
ketika penjualan tanah dihargai 1,5 juta hingga 2 juta kepada masyarakat biasa,
kepada kepala desa bisa mencapai 5 juta rupiah.
Sementara di sisi lain, urus mengurus administrasi sporadik
perlu keterlibatan kepala desa. syaiful rahman dan masyarakat lainnya menunggu
realisasi dari arah kebijakan kepala desa yang masih seumur jagung ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar