Senin, 18 Juni 2012

MENCARI KEADILAN DI TANAH TUHAN


Oleh : Muhammad Arsyad
“Pemerintah menganggap tanah ini tanah negara? Bukan, ini tanah Tuhan. Disuguhi berapapun duitpun, aku menolak perusahaan-perusahan itu. tanah adalah warisan karena aku tahu aku tidak akan hidup selamanya”
Begitu yakin Amang Aspul berucap di suatu siang desa handil birayang atas. Lelaki berusia 46 tahun ini begitu kukuh dengan pendiriannya untuk tidak akan menyetujui pembukaan lahan di desa handil birayang atas sebagai kebun kelapa sawit.
Konflik parsial akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit seakan dibiarkan saja berulang terjadi.  Menurut data Walhi Kalsel, sudah lebih dari lima wilayah perkebunan kelapa sawit yang bermasalah dengan masyarakat sekitar.
Padahal, jika kita berbicara dalam skala nasional, sektor perkebunan kelapa sawit dewasa ini justru tumbuh menjadi industri perkebunan nomor wahid di Indonesia. Krisis pangan dan energi dunia seakan dijawab oleh Indonesia sebagai eksportir utama untuk sektor kelapa sawit.
Perubahan orientasi ekonomi nasional dari mayoritas padi menuju kelapa sawit menuntut perubahan-perubahan yang radikal pada dimensi sosial, ekonomi, dan budaya. Muncullah kemudian pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana proses peralihan status tanah dalam menghadapi peralihan fungsi lahan sebagai kebun kelapa sawit? bagaimana peralihan pelaku utama ini mengerucut pada perusahaan-perusahaan besar transnasional? Bagaimana pengelolaan tata ruang agar mencerabut hak dari rakyat? Dll.
Berikut ini adalah satu contoh dimana perubahan itu ternyata tidak selalu mulus. Perubahan global yang dibawa perusahaan perkebunan kelapa sawit menuntut pada perubahan status tanah yang awalnya ruang hidup menjadi land market, perubahan hak masyarakat akan tanah, perubahan status pekerjaan sebagian masyarakat, dominasi perusahaan pada dimensi sosial masyarakat sekitar, kekhawatiran masyarakat pada dampak ekologis kelapa sawit, dll. Ini adalah tentang silang sengkarutnya globalisasi berwajah bisnis agrikultur di tangan perusahaan besar dengan lokalitas yang agrikultur pula yang berada di tangan petani lokal.
Semua ini bermula pada bagaimana pengelolaan tanah serta keruangannya.
Mengenai Desa Handil Birayang Atas
Secara administratif, desa handil birayang atas terletak di kecamatan bumi makmur kabupaten tanah laut.  Desa ini satu jalur handil dengan desa handil birayang bawah. Secara geografis keduanya sama-sama berdampingan dengan areal persawahan dan hutan rawa yang ditumbuhi pohon galam. Dari banjarbaru, kami perlu waktu tempuh 50 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Sesuai nama yang melekat padanya, handil birayang atas terurai menjadi beberapa maksud. Handil dalam pemaknaan orang banjar adalah jalan yang mengiringi aliran sungai kecil (tanggul). Sementara nama birayang, ujar lamsi selaku tetuha kampung, diadopsi dari nama kecamatan birayang di hulu sungai tengah karena mayoritas masyarakat saat itu berasal dari daerah tersebut. Sementara nama atas adalah maksud untuk membagi wilayah dengan desa tetangga yaitu handil birayang bawah yang dibagi mengikuti aliran air sungai.
Kendati secara penamaan memaksudkan bahwa ada keterkaitan geografis dengan birayang di hulu sungai tengah, namun masyarakatnya tidak melulu dari daerah tersebut. Mereka mengalami pembauran dengan lingkungan yang baru.
Masyarakat handil birayang atas terhitung lama menghuni wilayah yang sebagian besar adalah daerah rawa tersebut. Sebelum indonesia merdeka, nenek moyang mereka sudah berkoloni dan membentuk suatu sistem masyarakat baru dan hingga hari ini secara administratif dikenal sebagai handil birayang atas.
Kepada apa mereka selama ini menggantungkan hidup? Masyarakat handil birayang atas mayoritas berprofesi sebagai petani padi, pencari kayu galam serta mencari ikan. Mata pencaharian mereka sangat bergantung pada kondisi alam di sekitarnya. Untuk itulah, lamsi menganggap bahwa tanah sebagai pondasi kebergantungan hidup utama yang diberikan oleh tuhan, justru tidak tergantikan oleh apapun, termasuk uang.
Hal lain yang menarik adalah, ketika berbicara tentang pola mereka menebang pohon galam. Pohon galam dipakai untuk kayu bakar serta dijual kepada pengumpul. Sedemikian luas hutan rawa galam ini dikelola dengan penebangan berpindah. Ketika satu lokasi hutan galam ditebang dalam satu tahun, mereka akan berpindah ke lokasi yang lain dan akan membiarkan hutan galam yang ditebang tadi tumbuh kembali untuk beberapa tahun kemudian. Sampai pada beberapa tahun berikutnya mereka akan kembali dan pohon galam tersebut telah besar kembali. Pola seperti ini mirip dengan pola pertanian ladang berpindah yang banyak ditemui di pegunungan meratus.
Begitulah, berpuluh tahun berproses. Hingga hari ini, walaupun secara sosio-kultural, mereka sudah turun temurun menggarap lahan. Namun, secara legal formal, mereka belum mempunyai hak milik tanah. Ketidaktegasan pemerintah seperti dalam pengelolaan keruangan ini menimbulkan masalah. Ekspansi kelapa sawit datang jor-joran menggunakan lahan luas yang banyak menyimpan air.
Ketidakjelasan tata ruang wilayah
Seluas tanah di desa handil birayang atas bila dipandang dari segi hukum formal kenegaraan, masyarakat lokal bisa dibilang punya kedudukan yang lemah. Mengapa? Karena masyarakat lokal tidak mengantongi hak milik sebagai hak kuasa atas tanah yang paling kuat secara hukum kenegaraan.
Meskipun demikian, satu catatan penting bahwa secara sosio kultural, masyarakat lokal punya hak akan tanah. Berpuluh-puluh tahun masyarakat lokal memperlakukan tanah sedemikian sehingga fungsi ekologis dan sosial tetap utuh hingga sekarang cukup membuktikan bahwa tanah sebagai pondasi dasar ekonomi tidak mengguncang dimensi sosial yang berlaku pada masyarakat sekitar.
DI dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 6 disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dari butir UU tersebut sudah jelas bahwa hak atas tanah lebih mendahulukan fungsi sosial yang terbangun diatasnya. Maka ketika terjadi peralihan hak yang demikian frontal sehingga mengorbankan pihak yang dirugikan (apalagi dalam hal ini masyarakat lokal yang dirugikan), maka artinya fungsi sosial sebagai akibatnya juga telah berubah dalam pengertian semakin rusak. 
Pada kenyataannya, hutan rawa di desa handil birayang atas yang sangat luas itu justru dianggap oleh pemerintah sebagai tanah terlantar. Amang Aspul, salah seorang warg desa mempertanyakan penetapan status tersebut. Ia menganggap bahwa pencatutan pemerintah secara sepihak atas hutan rawa galam sebagai tanah terlantar tidak melihat kondisi warga di sekitarnya. Padahal sehari-harinya, masyarakat lokal mengandalkan galam yang tumbuh liar disana sebagai mata pencaharian utama.
Amang Aspul yang juga menolak ekspansi kelapa sawit PT KJW ini mengkawatirkan akan terjadinya kerusakan struktur ekologis yang merembet ke hutan rawa galam. “aku khawatir jika perusahaan sawit masuk, galam sulit tumbuh, ikan sulit didapat, pengairan sawah tidak lancar”, cecarnya.
Sementara, perusahaan yang lebih dulu mengantongi izin penggarapan dari pemerintah kabupaten tanah laut melakukan penawaran ganti rugi kepada masyarakat. Tarik ulur masyarakat lokal dengan perusahaan pun terjadi. Ada masyarakat yang menerima dan ada yang kukuh menolak pembukaan lahan ini.
Berbagai kesepakatan pun terus dilakukan. Namun, selama menjalani kesepakatan. Syaiful Rahman, warga rt 5 memandang bahwa telah beberapa kali pihak perusahaan ingkar. Misalnya, masalah penentuan tapal batas kebun kelapa sawit dengan lahan masyarakat. “awalnya di kesepakatan tertera bahwa batas kebun dengan lahan warga adalah dua puluh meter dari tanggul. Kenyataannya sekarang hanya sekitar empat-hingga lima depa saja dari tanggul” ujarnya. Dirinya menambahkan bahwa masyarakat akan semakin tak percaya jika perusahaan tetap saja melanggar kesepatakan yang telah dibuat sebelumnya.
Ketidakjelasan tata ruang wilayah dewasa ini justru mengorbankan masyarakat lokal. Keterdesakan itu tercermin berulang-ulang dari banyak kasus agraria, seperti halnya yang terjadi di desa handil birayang atas.
Premanisme terhadap masyarakat
Urun rembug di suatu malam di desa handil birayang atas tiba-tiba pecah oleh hentakan alas kaki dari beberapa lelaki. “mereka masuk ke rumah tanpa melepas alas kaki, begitukah cara bertamu?”, ujar lasmi, menjelaskan kejadian itu kepada kru merah putih.
Malam itu, di rumah lasmi yang juga ketua Rt 6, mereka berkumpul dan berbincang-bincang tentang kondisi tanah di desa mereka.
Achmad Rozani, aktivis wahana lingkungan hidup yang melakukan pendampingan advokasi masyarakat handil birayang atas terlihat shock. Untuk kali pertama ia mendapatkan daya setrum di bagian dada. Ia duduk lesehan di rumah seorang warga yang sedang musyawarah. Derap langkah kaki begitu cepat datang dan raungan parang dimana-mana. Ucok (begitu ia biasa disapa) dan seorang kawannya dianggap tidak menyampaikan izin menginap di desa itu. para pemuda itu mengancam akan melakukan tindakan bila ia tidak segera hengkang. Hingga secara tidak terduga, seorang pemuda menancapkan setrum hingga tidak berapa lama, ada yang melerai.
Begitulah Lasmi menceritakan malam yang kurang beruntung bagi ucok itu. “padahal menginap di suatu wilayah tidak perlu lapor kepala desa, cukup dengan ketua RT. Dan itu sudah dilakukan” sambung lelaki berusia kurang lebih 70 tahun ini.
Syaiful rahman mengakui bahwa selama ini, warga yang menolak ekspansi perkebunan kelapa sawit kerapkali mendapatkan intimidasi dan ancaman, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat di handphone. “karena itulah, banyak juga warga yang takut karena intimidasi dan akhirnya secara terpaksa menjual kepada perusahaan” ujarnya.
Mereka tidak melakukan perlawanan secara frontal. syaiful rahman memahami bahwa jika anarkisme yang mencuat di aparat kepolisian, justru efek negatifnya nanti ada di masyarakat lagi. Masyarakat nanti yang dianggap aparat melakukan perbuatan onar.
Lantas, apakah aparat kepolisian mengetahui atas intimidasi ini? Aspul mengaku bahwa aparat mengetahui namun terkesan tidak tahu. “ketika aku tanya, memihak mana, preman atau masyarakat yang menolak? Seorang polisi hanya menjawab bahwa ia bertugas menjaga keamanan”, cetus aspul, menjelaskan saat ia bertanya kepada salah seorang polisi. Aspul tak berharap banyak kasus intimidasi ini diproses secara hukum. Ia tidak lagi berharap banyak pada aparat kepolisian.
Antara tanah dan duit
“sebagai seorang manusia, aku kada munafik untuk perlu duit, namun duit bagiku bukanlah ukuran. Justru bagaimana kita memikirkan anak cucu kita nanti, dan sebagai rasa terima kasih kepada alam yang selalu melimpahkan sumber dayanya. Maka itu aku menolak mereka (perusahaan) dengan bulat, walau diiming-imingi duit sebanyak apapun”
Keras sikap Amang Aspul ini bukan tanpa alasan. Ia mempertegas pernyataan yang disampaikan lasmi bahwa dengan profesi masyarakat yang mengandalkan alam sepenuhnya, masyarakat harus menjaga tanah tersebut demi pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang, bukan keinginan sesaat dengan memilih jalan yang singkat. Ia memandang bahwa tanah didesa tersebut, jika dipindahfungsikan sebagai lahan kelapa sawit, akan merubah struktur ekologi yang ada disana dan menutup akses perekonomian masyarakat di kemudian hari.
Dirinya mengakui bahwa dengan menjadi petani dan pencari kayu galam, dirinya sudah merasa terpenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia mengasumsikan jika dalam setiap hari dirinya mampu satu kali membawa kayu galam dengan ukuran satu reet, ia bisa mengantongi uang sebesar 60 ribu rupiah. Sementara, jika dalam kondisi bugar dan rajin, ia mengaku dalam sehari bisa dua kali mengambil kayu galam di hutan rawa.
Lantas, ia mengaku tidak punya alasan untuk menerima perusahaan itu. “aku sudah merasa cukup dengan menjadi tukang kayu. Walau harus dipandang sebagai pekerjaan rendah dan capek bekerja sehari-hari, aku menikmati proses ini”
Di lain pihak, masyarakat yang “menjual” tanah kepada perusahaan ditengarai didasari atas berbagai motif. Ada yang secara terpaksa melepas karena mengalami tekanan untuk harus “menjual”  dan ada pula  yang memang tergiur oleh bayaran dan janji perusahaan. Kata menjual diberi tanda kutipan karena menjual adalah pemakian kata dari syaiful. Dalam istilah yang lain ganti rugi pemakaian kawasan lahan.
Perbedaan cara pandang atas bagaimana kita memperlakukan tanah mulai berkembang sejak rencana pembukaan lahan kelapa sawit di daerah tersebut. Tanah, pada awalnya berada pada konteks tenurial, keadaan dimana tanah garapan dimanfaatkan langsung oleh si penggarap (masyarakat lokal). pada konteks tersebut, tanah dipandang sebagai ruang hidup dimana keberlangsungan alam sehari-harinya.
Sistem kepemilikan tanah tidak begitu menjadi perhatian masyarakat. Baru semenjak kedatangan PT. KJW, masyarakat mulai menyadari bahwa status hukum atas tanah itu penting agar posisi secara hukum atas tanah lebih kuat.
Sistem kepemilikan tanah pertanian padi berdasarkan pada hak waris, maupun jual beli. Sementara sistem kepemilikan lahan rawa berada di wilayah administratif desa handil birayang atas yang dimanfaat secara komunal oleh warga desa. Tidak ada hak kepemilikan atas lahan rawa yang ditanami galam tersebut.
Menyadari posisi lemah mereka secara legal formal. Ke depan, sebagian masyarakat yang melakukan penolakan perkebunan kelapa sawit membuat sporadik dan mengajukan sertifikasi kepemilikan tanah ke BPN Tanah Laut. Besaran lahan yang rencananya disertifikasi adalah 2 hektar per kepala keluarga. Mereka khawatir, ekspansi kelapa sawit melanggar batas wilayah sesuai kesepakatan sehingga mereka merasa perlu untuk melegalkan tanah mereka di mata hukum negara.
Sementara, bagi masyarakat yang menjual lahan kepada perusahaan justru menanggung konsekuensi untuk tidak lagi boleh mengambil kayu galam dari lahan rawa sehingga satu mata pencaharian sebagai pencari kayu lepas sudah.
Bertahan atau berhenti menjadi tukang kayu adalah konsekuensi dari pilihan masing-masing masyarakat.Amang  Aspul berujar “pihak kami bersyukur karena kami bisa mencari kayu galam terus menerus, bebas dari jeratan kesepakatan dan kami pun terus bekerja”
Politik pemilihan kepala desa
Menurut Sutardjo kartohadikusumo, desa adalah suatu kesatauan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Demikian desa berhak untuk memilih, mengangkat dan menyelenggarakan pemerintahan desa secara otonom.
Polemik pemilihan kepala desa seringkali dapat kita jumpai pada desa dengan kategori “lahan basah”. Mana-mana saja desa yang dianggap sebagai daerah kaya akan rentan terhadap saling silang pemilihan kepala desa.
Di desa yang potensial ekspolitasi sumber daya alamnya besar, proses pemilihan kepala desa yang dikata demokratis ini bisa menjadi arena kapitalisme menancapkan kuasanya. Mengapa? Karena kepala desa mempunyai peran strategis dalam pengambilan kebijakan desa.
Di tempat pemungutan suara, janji-janji program kerja terpampang. Semua masyarakat yang cukup syarat mendapatkan hak pilih. Kalangan yang termarjinalkan pun punya kesempatan untuk merubah jalan arah kebijakan desa. Suara dan pilihan masyarakat dihargai, walaupun secara kuantitatif, bukan dengan kualitas suara yang diberikannya.
Kepala desa handil birayang atas baru saja berganti yang dipilih melalui pemilihan umum. Polemik pemilihan kepala desa di handil birayang atas semakin mencuat ketika persepsi masyarakat pada keberadaan perkebunan kelapa sawit terbagi dua. Di tengah keterbelahan persepsi masyarakat terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit, kepala desa bisa saja berperan dalam upaya memuluskan jalan legalitas keberadaan perusahaan. Namun, kepala desa juga bisa berperan dalam melakukan gerakan pengaturan kepemilikan, pengelolaan tanah menuju harkat martabat desa it sendiri.
Syaiful Rahman termasuk salah satu calon kepala desa saat itu, ia akhirnya kalah bertarung. Ia mengatakan bahwa tarik menarik kepentingan perusahaan sangat jelas terlihat dalam pemilihan kepala desa. Perusahaan dengan kuasa modal memberikan perlakuan berlebih kepada calon kepala desa. Misal, ketika penjualan tanah dihargai 1,5 juta hingga 2 juta kepada masyarakat biasa, kepada kepala desa bisa mencapai 5 juta rupiah.
Sementara di sisi lain, urus mengurus administrasi sporadik perlu keterlibatan kepala desa. syaiful rahman dan masyarakat lainnya menunggu realisasi dari arah kebijakan kepala desa yang masih seumur jagung ini.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar