Malam minggu di banjarmasin. Jalan sesak dan macet.
Sementara Unlam gelap dan sepi, termasuk sekre. Beberapa hari ini aku
disibukkan dengan skripsi. Menyebalkan memang. Tapi mau bagaimana? Itu
persyaratan lulus. Dan lulus sekarang adalah tuntutan orang tua. Dan juga aku
yang sudah mulai bosan dengan kampus yang sepertinya semakin penuh dengan
sandiwara dan janji. Nyatanya, kuliah semakin mahal.
Tidak ada rencana awalnya malam ini mau apa. Setelah penat
bertapa dalam kamar sempit di sekre. Membaca buku, bercengkerama dengan
penghuninya, main game. Tidak ada yang dihasilkan. tidak ada pencarian sesuatu
dari hidup hari ini. Berlalu sia-sia. Dan aku tidak menjadi apa-apa dalam
proses menjadi manusia. Kupikir, baik untuk berjalan barang sebentar. Walau
cukup untuk menertawakan malam dengan kesendirian dan orang-orang yang lalu
lalang berpasang-pasangan.
Kuingat, taman budaya punya acara. Aku kesana sendiri, jalan
kaki menyeberang jalan dari unlam.
Awalnya, ada wayang orang. aku telat datang hingga tak begitu menangkap itu
bentuk kesenian apa. Ada satu pesan dari pertunjukan wayang tadi yang di akhir,
dengan penangkapan sekilas. Bahwa semua suku di banjar, mesti bersatu dalam
membangun daerah. Ah, aku tidak begitu jelas menangkap. Sekilas,seperti itu
lah.
Acara dilanjutkan diluar gedung, di panggung terbuka taman
budaya. Acaranya banyanyian. Ada tenda dan deretan kursi plastik menghadap
panggung dengan cahaya jingga, temaram. Hingga wajah pegiat seni yang tampil
malam itu terlihat samar, misterius, dan memencarkan aura. Di sisi kiri kanan
panggung, ada hiasan manik, dasarnya kombinasi warna merah dan kuning,
sementara maniknya berwana keemasan. Selaras dengan cahaya lampu yang menyorot
dari atas panggung. Tata warna itu diperkuat oleh warna hitam di bagian bawah, menambahkan
kesan kokoh. Yah, sesuatu yang membuat kesan dalam pikiranku, tata panggung
yang bagus.
Sementara, di sebelah kiri bangku penonton, warung komisi XI
buka malam. Aku tak sempat duduk disana. Warung komisi XI itu wadahnya
berkumpul seniman, budayawan, dan sejumlah wartawan kalsel. Tiap hari kerja
warung disana buka. Wadah garunuman ujar buhannya. Baik itu masalah budaya,
sosial, politik di kalsel khususnya. Disampingnya lagi, ada stand dadakan.
Tulisannya pasput (pasar sajumput). Yang mengurus juga seniman daerah. Menjual
buku sastra di kalsel, dan souvenir.
Sembari menonton pentas. Kulihat, ada banyak buku bersusun
di emperan meja yang rendah. Karena itu buku, dan aku sering lupa kalau bicara
buku. Lupa kondisi keuangan maksudnya.hehe.. akhirnya terbeli juga satu buku.
Antologi cerpen borneo. Tak sesal aku membeli ini buku. Dari sana, sekilas yang
kubaca,paling tidak aku bisa mengenal lebih dekat daerahku tinggal.
Maklum, aku sekarang buta sama sekali akan daerahku tinggal,
tanah borneo. Rasa penasaran untuk mencari sesuatu yang menguatkan aku akan
latar daerahku dalam dinamika ruang dan waktu menggiringku untuk mencari
beberapa sumber informasi. Aku merasa, kita di tanah borneo perlu mencari satu
dasar pendirian yang kuat berdasar pada aspek historis dalam pembicaraan
keindonesiaan. Mungkin ini adalah imbas dari beberapa tulisan andreas harsono
yang belum rampung menuliskan buku dengan judul debunking of indonesia myth bla
bla.. buku yang belum selesai namun berhasil memancing rasa penasaranku, setelah
membaca beberapa tulisannya di blog.
Entah kenapa, aku jadi tertarik untuk mencari cerita
mengenai tanah borneo, manusia dan peradabannya. Apa mungkin karena iri?
Mendengar cerita dari tanah jawa dengan maja pahit dan sumatra dengan
sriwijayanya dalam perbandingan nusantara sekarang. Aku berpikir, jika jawa dan
sumatra punya kebesaran cerita akan masa lalu, jelas borneo juga punya kisah,
namun tidak terpublikasikan saja. Sedikit banyak, inilah akar dari pemikiran
primordial, mencoba membanggakan asal usul. Tapi, lagi kata sainul. Penggalian
budaya bukan untuk saling menindih. Aku mencoba setuju akan itu. Meski, aku
tetap tidak setuju bila indonesia itu jawa. Dan lebih tidak setuju lagi bila
kekayaan alam yang melimpah ini diambil keputusan di jakarta. Semuanya mesti
berawal dari daerah dan untuk daerah. Sedangkan faktanya hari ini. Tambang batu
bara, beberapa perusahaan besar, seperti
arutmin dan adaro, segala keputusan ijin tambang ada di pusat. Daerah
terkena imbas, perubahan lingkungan hidup, dan sosial. Tiap hari kita
berteriak. Tiap hari kita melihat kekecewaan dari orang-orang, satu persatu.
Menuju keapatisan dan mungkin entah suatu saat akan memuncak dalam batasnya.
Seperti itulah, bahwa ketidakadilan itu tergambar jelas
setiap hari melalui kontradiksi. Terlebih lagi, dari kata-kata yang berontak
yang mewujud pada banyak hal, semacam puisi dan cerpen. Walau sayang, beberapa
kali aku kecewa bahwa kata yang sejatinya sakral karena punya ikatan dengan
realitas ternoda oleh kesempatan dan uang. Ya, Inilah kapitalisme yang tidak
hanya menggerus budaya, tapi juga posisi ideologis manusia dan kesetiaan kita
pada pandir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar