Selasa, 19 Juni 2012

menjelang diskusi G30S/1965


Malam minggu di banjarmasin. Jalan sesak dan macet. Sementara Unlam gelap dan sepi, termasuk sekre. Beberapa hari ini aku disibukkan dengan skripsi. Menyebalkan memang. Tapi mau bagaimana? Itu persyaratan lulus. Dan lulus sekarang adalah tuntutan orang tua. Dan juga aku yang sudah mulai bosan dengan kampus yang sepertinya semakin penuh dengan sandiwara dan janji. Nyatanya, kuliah semakin mahal.
Tidak ada rencana awalnya malam ini mau apa. Setelah penat bertapa dalam kamar sempit di sekre. Membaca buku, bercengkerama dengan penghuninya, main game. Tidak ada yang dihasilkan. tidak ada pencarian sesuatu dari hidup hari ini. Berlalu sia-sia. Dan aku tidak menjadi apa-apa dalam proses menjadi manusia. Kupikir, baik untuk berjalan barang sebentar. Walau cukup untuk menertawakan malam dengan kesendirian dan orang-orang yang lalu lalang berpasang-pasangan.
Kuingat, taman budaya punya acara. Aku kesana sendiri, jalan kaki menyeberang  jalan dari unlam. Awalnya, ada wayang orang. aku telat datang hingga tak begitu menangkap itu bentuk kesenian apa. Ada satu pesan dari pertunjukan wayang tadi yang di akhir, dengan penangkapan sekilas. Bahwa semua suku di banjar, mesti bersatu dalam membangun daerah. Ah, aku tidak begitu jelas menangkap. Sekilas,seperti itu lah.
Acara dilanjutkan diluar gedung, di panggung terbuka taman budaya. Acaranya banyanyian. Ada tenda dan deretan kursi plastik menghadap panggung dengan cahaya jingga, temaram. Hingga wajah pegiat seni yang tampil malam itu terlihat samar, misterius, dan memencarkan aura. Di sisi kiri kanan panggung, ada hiasan manik, dasarnya kombinasi warna merah dan kuning, sementara maniknya berwana keemasan. Selaras dengan cahaya lampu yang menyorot dari atas panggung. Tata warna itu diperkuat oleh warna hitam di bagian bawah, menambahkan kesan kokoh. Yah, sesuatu yang membuat kesan dalam pikiranku, tata panggung yang bagus.
Sementara, di sebelah kiri bangku penonton, warung komisi XI buka malam. Aku tak sempat duduk disana. Warung komisi XI itu wadahnya berkumpul seniman, budayawan, dan sejumlah wartawan kalsel. Tiap hari kerja warung disana buka. Wadah garunuman ujar buhannya. Baik itu masalah budaya, sosial, politik di kalsel khususnya. Disampingnya lagi, ada stand dadakan. Tulisannya pasput (pasar sajumput). Yang mengurus juga seniman daerah. Menjual buku sastra di kalsel, dan souvenir.
Sembari menonton pentas. Kulihat, ada banyak buku bersusun di emperan meja yang rendah. Karena itu buku, dan aku sering lupa kalau bicara buku. Lupa kondisi keuangan maksudnya.hehe.. akhirnya terbeli juga satu buku. Antologi cerpen borneo. Tak sesal aku membeli ini buku. Dari sana, sekilas yang kubaca,paling tidak aku bisa mengenal lebih dekat daerahku tinggal.
Maklum, aku sekarang buta sama sekali akan daerahku tinggal, tanah borneo. Rasa penasaran untuk mencari sesuatu yang menguatkan aku akan latar daerahku dalam dinamika ruang dan waktu menggiringku untuk mencari beberapa sumber informasi. Aku merasa, kita di tanah borneo perlu mencari satu dasar pendirian yang kuat berdasar pada aspek historis dalam pembicaraan keindonesiaan. Mungkin ini adalah imbas dari beberapa tulisan andreas harsono yang belum rampung menuliskan buku dengan judul debunking of indonesia myth bla bla.. buku yang belum selesai namun berhasil memancing rasa penasaranku, setelah membaca beberapa tulisannya di blog.
Entah kenapa, aku jadi tertarik untuk mencari cerita mengenai tanah borneo, manusia dan peradabannya. Apa mungkin karena iri? Mendengar cerita dari tanah jawa dengan maja pahit dan sumatra dengan sriwijayanya dalam perbandingan nusantara sekarang. Aku berpikir, jika jawa dan sumatra punya kebesaran cerita akan masa lalu, jelas borneo juga punya kisah, namun tidak terpublikasikan saja. Sedikit banyak, inilah akar dari pemikiran primordial, mencoba membanggakan asal usul. Tapi, lagi kata sainul. Penggalian budaya bukan untuk saling menindih. Aku mencoba setuju akan itu. Meski, aku tetap tidak setuju bila indonesia itu jawa. Dan lebih tidak setuju lagi bila kekayaan alam yang melimpah ini diambil keputusan di jakarta. Semuanya mesti berawal dari daerah dan untuk daerah. Sedangkan faktanya hari ini. Tambang batu bara, beberapa perusahaan besar, seperti  arutmin dan adaro, segala keputusan ijin tambang ada di pusat. Daerah terkena imbas, perubahan lingkungan hidup, dan sosial. Tiap hari kita berteriak. Tiap hari kita melihat kekecewaan dari orang-orang, satu persatu. Menuju keapatisan dan mungkin entah suatu saat akan memuncak dalam batasnya.
Seperti itulah, bahwa ketidakadilan itu tergambar jelas setiap hari melalui kontradiksi. Terlebih lagi, dari kata-kata yang berontak yang mewujud pada banyak hal, semacam puisi dan cerpen. Walau sayang, beberapa kali aku kecewa bahwa kata yang sejatinya sakral karena punya ikatan dengan realitas ternoda oleh kesempatan dan uang. Ya, Inilah kapitalisme yang tidak hanya menggerus budaya, tapi juga posisi ideologis manusia dan kesetiaan kita pada pandir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar