Senin, 18 Juni 2012

hidup bagi seorang udin


Di suatu sore pelabuhan. Kapal belum menyandar, udin duduk di atas tiang pengikat tali kapal. Menghadap laut, mencermati sampah yang mengalir bersama arus air yang bergerak. Ia menunggu kedatangan kapal hari ini. Kata petugas pelabuhan, kapal barang akan menyandar berasal dari surabaya pukul 7 petang ini.
Matanya masih merah, ia baru saja terbangun dari tidur siang. Menikmati siang dengan angin-angin yang terasa dingin menyapa, membuatnya lelap dalam tidur. Terbangun dalam kondisi seperti ini memang enak. Apalagi ketika bangun, segelas kopi hitam tiba-tiba ada di depan mata, menyapanya ketika pertama kali bangun. Mulailah ia berkhayal, padahal nyatanya ia duduk sendiri, tanpa kopi, tanpa rokok bahkan tanpa sapa yang genit dari bibi penjual makanan ringan.
Sore ini, kapal datang mengangkut beras. Mungkin saja ia tak menyadari bahwa ada ribuan nyawa yang bersandar dari kedatangan beras yang ia angkut. Bahwa ada cerita mengenai rengekan tangis seorang anak yang manja untuk minta disuapi oleh ibunya. Bahwa ada sepasang pengantin muda yang menanak nasi bersama melalui tungku kayu. Bahwa ada kompromi harga dari kelas menengah, pedagang kapitalis kecil di suatu restauran ternama. Bahwa ada suapan kasih dari sepiring bubur tanpa perasa untuk si tua yang ringkih bersama waktu.
Ia yang juga terhimpit oleh kondisi ekonomi tak menyadari itu semua. Ia hanya tahu angkut dan terus mengangkut. Sampai pundaknya menjadi berotot dan hitam legam terbakar matahari.
Begitu pula ia tak perduli dengan tumpukan beras dalam gudang yang berbulan-bulan mengendap. Meski pemberitaan mengenai kelangkaan beras membuat masyarakat direpotkan untuk mengantri dan harga yang melambung tinggi.
Ia tahu tugasnya hanya mengangkut, seperti mesin. Tanpa hak bersuara, apalagi berteriak menentang kompromi mafia-mafia berseragam yang bolak-balik meminta jatah pada penjaga gudang. Hatinya memang mempermasalahkan ini, tapi keadaan membuatnya bungkam.
Di suatu sore itu, ia terpikir tentang bagaimana ia tega telah terlibat dalam rencana ini, walau hanya sebagai pengangkut beras. Ketika tetangganya di rumah, kesulitan untuk menakar seliter dua beras dari tanggaran.
Tapi kembali lagi, sikap acuh sudah sedemikian tertanam, meski dalam tempat yang paling gelap dan sunyi itu ia berteriak. Tapi batas badaniah membatasinya.
Hidup adalah deretan tanya yang bergiliran datang. Lamunan hanya menghantarkannya pada suatu perkiraan, tanpa pernah sampai pada titik akhir. Ia yang menjalani hidup dari ikhtiar otot menantang berat. Mengawali sebuah kebutuhan manusia, dan mereka yang manipulatif dengan data. Sementara ia menyendiri disini, di pinggir pelabuhan ini, dengan tunggu yang tak berucap dalam kata.
Ia menunggu kesunyian, ia menuggu keterasingan, ia menunggu pengampunan dari suatu kebenaran. Dan menunggu ia, pada malam yang hampir menutup cahaya jingga di ujung laut sana. Hingga kapal berikutnya datang lagi, memberi tanda melalui klakson, memekikkan telinga. Ia pun bersiap diri. Mengangkat lagi, entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar