Di suatu sore pelabuhan. Kapal belum
menyandar, udin duduk di atas tiang pengikat tali kapal. Menghadap laut,
mencermati sampah yang mengalir bersama arus air yang bergerak. Ia menunggu
kedatangan kapal hari ini. Kata petugas pelabuhan, kapal barang akan menyandar
berasal dari surabaya pukul 7 petang ini.
Matanya masih merah, ia baru saja terbangun
dari tidur siang. Menikmati siang dengan angin-angin yang terasa dingin
menyapa, membuatnya lelap dalam tidur. Terbangun dalam kondisi seperti ini
memang enak. Apalagi ketika bangun, segelas kopi hitam tiba-tiba ada di depan
mata, menyapanya ketika pertama kali bangun. Mulailah ia berkhayal, padahal
nyatanya ia duduk sendiri, tanpa kopi, tanpa rokok bahkan tanpa sapa yang genit
dari bibi penjual makanan ringan.
Sore ini, kapal datang mengangkut beras.
Mungkin saja ia tak menyadari bahwa ada ribuan nyawa yang bersandar dari
kedatangan beras yang ia angkut. Bahwa ada cerita mengenai rengekan tangis
seorang anak yang manja untuk minta disuapi oleh ibunya. Bahwa ada sepasang
pengantin muda yang menanak nasi bersama melalui tungku kayu. Bahwa ada
kompromi harga dari kelas menengah, pedagang kapitalis kecil di suatu restauran
ternama. Bahwa ada suapan kasih dari sepiring bubur tanpa perasa untuk si tua
yang ringkih bersama waktu.
Ia yang juga terhimpit oleh kondisi ekonomi
tak menyadari itu semua. Ia hanya tahu angkut dan terus mengangkut. Sampai
pundaknya menjadi berotot dan hitam legam terbakar matahari.
Begitu pula ia tak perduli dengan tumpukan
beras dalam gudang yang berbulan-bulan mengendap. Meski pemberitaan mengenai
kelangkaan beras membuat masyarakat direpotkan untuk mengantri dan harga yang
melambung tinggi.
Ia tahu tugasnya hanya mengangkut, seperti
mesin. Tanpa hak bersuara, apalagi berteriak menentang kompromi mafia-mafia
berseragam yang bolak-balik meminta jatah pada penjaga gudang. Hatinya memang
mempermasalahkan ini, tapi keadaan membuatnya bungkam.
Di suatu sore itu, ia terpikir tentang
bagaimana ia tega telah terlibat dalam rencana ini, walau hanya sebagai
pengangkut beras. Ketika tetangganya di rumah, kesulitan untuk menakar seliter
dua beras dari tanggaran.
Tapi kembali lagi, sikap acuh sudah sedemikian
tertanam, meski dalam tempat yang paling gelap dan sunyi itu ia berteriak. Tapi
batas badaniah membatasinya.
Hidup adalah deretan tanya yang bergiliran
datang. Lamunan hanya menghantarkannya pada suatu perkiraan, tanpa pernah
sampai pada titik akhir. Ia yang menjalani hidup dari ikhtiar otot menantang
berat. Mengawali sebuah kebutuhan manusia, dan mereka yang manipulatif dengan
data. Sementara ia menyendiri disini, di pinggir pelabuhan ini, dengan tunggu
yang tak berucap dalam kata.
Ia menunggu kesunyian, ia menuggu
keterasingan, ia menunggu pengampunan dari suatu kebenaran. Dan menunggu ia,
pada malam yang hampir menutup cahaya jingga di ujung laut sana. Hingga kapal
berikutnya datang lagi, memberi tanda melalui klakson, memekikkan telinga. Ia
pun bersiap diri. Mengangkat lagi, entah sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar